Followers

Thursday, October 31, 2013

Warna Warni Cerita dari Tosari

“Menurut saya, Tosari adalah miniatur Indonesia. Kenapa? Karena di sana kita bisa lihat keberagaman agama dengan masyarakat yang tetap bertoleransi,” ujar beberapa orang yang mengemukakan pendapatnya mengenai Tosari.
Kecamatan Tosari, adalah daerah penempatan saya selama masa tugas menjadi Tim Pencerah Nusantara angkatan 2. Tiga hal yang membuat saya jatuh cinta pada tempat ini. Pertama, pemandangan alamnya, lalu kebudayaan masyarakat Tengger, dan kerukunan bermasyarakat yang ada di sini.
Pemandangan alam Tosari tidak perlu diragukan lagi. Sebagai daerah yang berada di Kawasan Wisata Bromo, maka mata ini tidak pernah berhenti puas dengan segala yang disuguhkan alam di sini. Hamparan perkebunan, barisan pohon pinus, perbukitan yang menjulang, warna-warni bunga, bahkan suasana berkabut juga menjadi lukisan yang melengkapi segala keindahan yang ada. Jalan yang berkelok-kelok memberi sensasi tersendiri dalam menikmati pemandangan yang ada. Sepanjang saya menelusuri dusun-dusunnya, Tlogosari, Ledoksari, Wonokitri, Podokoyo, Kandangan, Purwono, Sedaeng, Baledono, Junggo, Mororejo, semua terdefinisikan dalam satu kata: indah. Perpaduan warna biru langit dan hamparan hijau alam sungguh membuktikan betapa daerah ini diberkati dengan keadaan alam yang memukau. Ini baru di dusun-dusun. Belum ke Bromo, saudara-saudara.
Memandang Matahari di Hari-Hari Pertama
Matahari yang Selalu Dinanti-Nanti


Matahari di Belakang Penginapan
Menjelang Sunset
Yang Mempercantik Alam Tosari
Pemandangan dari Sebuah Sekolah
Pemercantik Alam Tosari Juga
Cool View, Right? :D
Pemandangan dari SD di Atas Bukit
Pemandangan dari Sebuah Desa, Seperti Berada di Negeri di Atas Awan (:
 Ada yang spesial di Tosari, salah satunya adalah yang disebut Lombok Terong. Cabe ini punya ukuran yang tidak biasa, jauh lebih besar daripada cabe yang biasa saya lihat. Rasanya? Jangan ditanya... jauh lebih pedas juga dari cabe yang biasa. Pesan moral yang selalu diberikan setiap orang pada kami soal cabe ini adalah: kalau mau masak cabe ini, jangan lupa untuk membuang bijinya! Kalau lupa, risiko ditanggung konsumen...
Ada lagi yang spesial, namanya semen. Bukan semen untuk bangunan itu, tapi semen sayuran. Berasal dari kata semaian, tapi orang Tengger biasa sebut praktis dengan ‘semen’. Semen adalah semaian kol. Jadi, singkatnya daun kol muda begitu. Orang biasa memasaknya sebagai lalapan dan dipadu dengan sambel tomat+cabe terong. Kalau ditambah tahu, tempe goreng, hmmm...sedaaap....
Ini diaaa... Kebun Semen
 Kemudian, mari kita coba beralih mengenai kebudayaan di sini. Masyarakat Tosari sebagian besar adalah Suku Tengger. Mereka punya sebuah salam, salamnya orang Tengger kata mereka. “Hong Ulon Basuki Langgeng”, sebuah salam yang juga menjadi doa bagi mereka, kiranya ‘keselamatan (bisa juga kesejahteraan) senantiasa beserta kita’, yang kemudian disambut dengan balasan salam “Langgeng Basuki!” yang artinya kurang lebih ‘selamat (atau juga sejahtera) selamanya’. Masyarakat Tengger punya beberapa kebudayaan yang menggambarkan local wisdom mereka. Beberapa yang saya ketahui adalah budaya betek (semoga saya tidak salah tulis) dan Karo. Betek adalah budaya dimana ketika seorang warga punya hajat atau acara besar, maka semua warga turut membantu mempersiapkan acara tersebut. Yang pernah saya alami adalah ketika salah satu warga di dusun tempat saya tinggal punya gawe mantu, maka satu dusun ikut membantu. Ibu-ibu memasak, bapak-bapak membantu di bagian yang lain. Tidak tanggung-tanggung, sekitar 250 orang terlibat membantu warga yang punya hajatan. Dan yang lebih membuat speechless adalah ketika mengetahui bahwa betek ini tidak hanya berlangsung selama sehari tapi bisa hampir satu minggu. Luar biasa!! Tapi begitulah, prinsipnya, susah senang ditanggung bersama. Kebudayaan selanjutnya yang mau saya ceritakan adalah Karo. Bisa dibilang bahwa Karo adalah Lebarannya orang Tengger. Karo menjadi momen anjangsana bagi masing-masing warga. Sistemnya, setiap desa punya jadwalnya masing-masing. Waktunya, bisa mencapai sebulan, per desa bisa 2-4 hari merayakan Karo, tergantung jumlah dusunnya. Jadi, jika minggu ini jadwalnya Desa Tlogosari merayakan Karo, maka warga dari desa lain akan berkunjung ke masyarakat Desa Tlogosari. Sementara warga Desa Tlogosari sibuk menyiapkan makanan untuk sajian. Tidak tanggung-tanggung, makanan yang disajikan tidak hanya snack ringan tapi juga makanan berat. Kemudian, setiap warga yang berkunjung diwajibkan makan makanan warga yang dikunjungi. Maka, beruntunglah kami sebagai pendatang karena kami dapat undangan Karo banyak sekali. kami kenyang selama beberapa hari tanpa masak, bahkan tidak hanya kenyang tapi kekenyangan. Karena saking banyaknya rumah yang kami kujungi, kami yang berangkat dengan perut kosong, akhirnya pulang dengan perut buncit. Hehehe...
Sajian Saat Karo, Baru Snack Saja yang Ini
Jenang Karo, Jenang yang Penuh Filosofi (:
Hal lain yang membuat saya senang tinggal di Tosari adalah kerukunan bermasyarakatnya. Ada 3 agama yang dipeluk masyarakat Tosari, yaitu Hindu sebagai agama mayoritas, kemudian Islam dan Kristen. Maka wajar jika ditemukan 3 tempat ibadah di sini, pura, gereja, dan masjid. Semua perbedaan itu disatukan dalam sebuah status, yaitu: kita sama-sama orang Tengger. Ya, kesamaan status sebagai orang Tengger itu yang menyatukan semua perbedaan itu menjadi sebuah kerukunan. Di belakang rumah dinas saya ada pura, jalan sedikit ke depan rumah dinas ada gereja, kemudian jalan sedikit melewati kecamatan yang di sebelah rumah dinas, kita bisa menemukan masjid. Semua menghormati keberagaman yang ada. Semua ramah satu sama lain. Semua warga melakukan kebaikan pada orang lain tanpa membedakan agama. Salah satu kebaikan warga yang bisa saya ceritakan adalah begini... Air di rumah dinas sering tidak mengalir. Kalau sudah begitu, jadilah pagi-pagi kami menumpang mand di rumah warga. Waktu itu, saya menumpang mandi di rumah warga yang ada di depan rumah dinas kami. Selesai mandi, saya ditawari sarapan. Plus-plusnya, selesai sarapan, saya diberi kentang, wortel, labu siam, dan semen, semua hasil kebun sendiri. Maka jadilah saya pulang numpang mandi dengan membawa seplastik penuh sayur mayur, persis seperti ibu-ibu baru selesai dari pasar, lengkap dengan handuk pink saya. Anehnya, saya merasa senang. Hehehe... belajar sekali tentang mereka yang selalu senang berbagi (:
Itu dia sedikit cerita tentang Tosari. Senang dan bersyukur bisa tinggal di sini. Kerja tapi juga bersenang-senang. Lain kali saya akan ceritakan pengalaman mengenai hal-hal yang unik lagi selama saya tugas di sini.  Sebentar lagi, setelah Karo, mudah-mudahan ada banyak hal yang bisa saya ceritakan. Mengenai ibu-ibu PKKnya, mengenai anak-anak sekolahnya, mengenai Laskar Pencerah, mengenai Posyandunya, mengenai guru-guru hebat di sini, mengenai kader-kader pejuang di sini, mengenai petugas-petugas Puskesmas yang berdedikasi, dan sebagainya. Penasaran?? Sabar yaa (:
 
Salam,
Kinanthi Estu Linadi, S.KM

No comments:

Post a Comment