Followers

Friday, September 27, 2013

H-30....



Tak terasa sebulan lagi masa tugas kami sebagai pencerah nusantara berakhir di Tosari dan begitu juga untuk tim lainnya di seluruh penjuru Indonesia. Semua tim mulai menghitung mundur waktu menuju kepulangan dan berkumpulnya kami ber-32 di Jakarta. Rasanya tentu campur aduk antara senang, sedih, ragu, dan banyak lagi. Senang, kami semua tentu senang menantikan waktu pada akhirnya kami dapat berkumpul lagi dengan teman dan keluarga. Sedih ? jelas kami akan sedih meninggalkan tempat penugasan kami masing-masing yang sudah seperti rumah kedua bagi kami. Semuanya campur aduk menghasilkan sebuah euforia yang memicu diri kami untuk bekerja semaksimal dan mengerahkan yang terbaik yang bisa kami berikan sebulan terakhir ini . 

Setelah setahun berakhir, tidak hanya orang-orang yang akan mempertanyakan hasil dari kerja keras kami. Kami pun akan bertanya-tanya apakah kami sudah memberikan yang terbaik, apakah kami sudah maksimal, dan sebagainya. Banyak sekali keraguan akan kerja keras kami dan akan jadi apakah kami selanjutnya. Semua hal yang telah dan belum dilakukan menjadi pelajaran untuk kami dan tim selanjutnya, yang pastinya akan lebih baik dari kami. Yang kami lihat selama hampir setahun ini bukanlah hanya sebuah angka-angka yang bisa diukur seperti AKI, AKB,dll, tapi bagaimana kehadiran kami memberi perubahan bagi warga setempat, meski sekecil apapun dan kami akui dalam waktu sesingkat ini angka-angka yang diminta oleh para petinggi belum terdapat perubahan signifikan. Sekali lagi, kami bukan pahlawan kesiangan yang menuntut perubahan ini itu. Kami mencermati perilaku dan budaya masyarakat sebagai nantinya dapat perlahan dilakukan intervensi yang masuk melalui budaya mereka. 

Masih banyak orang di luar sana yang mempertanyakan apa sih pencerah Nusantara, ngapain sih mereka, namanya kok cheesy banget. Sekali lagi saya akan menjelaskan (dengan tersenyum dan menghela napas pendek), kami adalah sekumpulan anak muda yang punya visi untuk membangun Indonesia khususnya lewat kesehatan di pelosok-pelosok Indonesia. Meski kami bertempat di puskesmas, kami juga turun langsung ke lapangan bertemu dan melihat langsung kondisi masyarakat. Ketika social determinants of health (pendidikan, akses, transportasi, ekonomi, dll) masyarakat saja buruk, kesehatan jelas akan menjadi prioritas sekian, kami pun mencari cara untuk membantu di aspek selain kesehatan yang ujungnya akan mempengaruhi kesehatan lewat kerjasama lintas sektor dan khususnya dari pemerintah lokal sendiri.dan lagi, semua itu tidak semudah teori dan ucapan belaka.Namun, Yang paling menyenangkan dari ini semua adalah kami  membaur dengan masyarakat ,diundang ke acara-acara adat maupun sosial,disapa dan diberi senyuman oleh siapapun yang berpapasan di jalan, kami dianggap BAGIAN dari masyarakat. 

Untuk kami pribadi jelas sekali manfaatnya, kami anak-anak muda yang kebanyakan hidup di kota-kota besar, sangat minim pengetahuannya soal warga Indonesia lain yang masih tertinggal dalam berbagai aspek.  Lewat program ini kami diajak untuk membuka mata dan turut memberikan kontribusi untuk saudara-saudara kami di pelosok Indonesia. Ini bukan pengabdian karena ini semua kami lakukan dengan tulus dan senang hati. Orang-orang tidak sepatutnya memandang kami dengan kasihan dan menganggap kami telah menyia-nyiakan setahun hidup kami. Ini semua tidak sia-sia hai kawan, kami belajar banyak soal ketulusan, toleransi, gotong royong,kesederhanaan, keterbukaan, kearifan lokal masyarakat pelosok yang susah ditemui lagi di kota besar. Kami ditempa disini untuk bisa memahami sisi yang berbeda dan untuk memilih ingin menjadi sisi yang mana kami nanti. Setahun bukanlah tanpa arti dan akan kami lupakan begitu saja, ini akan sangat membekas dan harapannya kaum-kaum muda seperti kami yang nantinya akan menjadi leader dan policy maker di negeri ini, bisa mengingat masih banyak warga Indonesia yang butuh perhatian lebih dari kaum atas. 

Pesan saya untuk anak muda di luar sana, berkontribusi untuk Indonesia tidak hanya lewat mengikuti program-program seperti ini untuk dikirim ke pelosok Indonesia tapi lewat segala usaha kalian untuk berbuat sesuatu untuk negara ini di bidang kalian masing-masing. Every action counts! Seperti yang dikatakan oleh pak Ridwan Kamil, negara kita sedang sakit karena pemerintahnya korupsi, pebisnisnya oportunis, dan para intelektualnya apatis. Ditambah dengan kaum muda yang pesimis. Mentalitas bangsa kita harus dirubah menjadi masyarakat madani yaitu bahwa hanya kita sendiri yang dapat mengubah nasib kita. Mengubah dunia sudah tidak bisa dilakukan sendirian. Semua harus berkolaborasi dan berkelompok. Negeri ini butuh anak-anak muda yang optimis dan mau berbuat untuk negara ini. Jangan takut mengambil keputusan, resiko ataupun bertindak salah! Karena yakinlah yang tidak pernah berbuat kesalahan adalah yang tidak pernah berbuat apa-apa. Yang dibutuhkan bangsa kita adalah semangat memberi bukan menuntut. 

“Membenahi negara, menuju Indonesia yang lebih baik, memang bukan kerja sehari dua hari, dan bukan mustahil hasilnya baru akan kita rasakan lima puluh tahun lagi, atau bahkan ketika kita tak ada di dunia ini. Tidak masalah. Itu adalah TUGAS KITA SEMUA.” – Nanan Soekarna

Salam,
Olivia Herlinda dan segenap tim Tosari!

Tuesday, September 17, 2013

Pengalaman di negara Shahrukh Khan

India's Gate



Saya mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di New Delhi dengan tema International Conference On Public Health Priorities In the 21st Century : The Endgame For Tobacco pada tanggal 10-12 September 2013. Saya mendapat full scholarship meski telat mendaftar mungkin karena abstract saya (Taking Control of Tobacco towards the achievement of MDGs) diterima komite untuk oral presentation tanggal 11 sept 2013 (thanks to PHFI dan HRIDAY). 

Pada tanggal 10 september 2013, Saya mengikuti sesi preconference PCW2- advancing tobacco control in developing countries- experiences from project STEPS (Strengthening of Tobacco control Efforts Through innovative Partnerships and Strategies). Project Steps ini merupakan program 3 tahun yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation yang bertujuan untuk mengurangi beban kesehatan akibat tembakau lewat evidence based economic & policy research, advokasi, community based cessation strategies, intervensi media, dan inisiatif multilevel tobacco control di india. 

Para audiens diharapkan dapat belajar dari proyek tobacco control yang telah memasuki tahun ketiga tersebut. Masalah di india cukup menantang, karena jenis tembakau yang digunakan bukan hanya rokok, tapi juga chewed tobacco dan smokeless tobacco (bidi). Bidi ini disebut oleh banyak studi ternyata mengandung nikotin yang lebih tinggi dibanding cigarettes. Masalah ekonominya pun sangat kompleks, karena bidi ini juga sangat banyak diproduksi dalam skala rumah tangga. Regardless populasi india yang memang banyak, masalah kompleks tersebut menjadikan india sebagai negara kedua dengan perokok terbanyak di dunia.

Dan yang paling menarik adalah soal dukungan pemerintah india mengenai tobacco control. Program tersebut bahkan masuk ke kurikulum sekolah-sekolah. Hal ini memang sangat dianggap serius bagi warga dan pemerintah india dimana Indonesia tidak terlalu menganggap serius. Ini bukan sekedar kasus kecil, salah seorang cardiologist india yang saya temui di conference mengatakan bahwa salah satu kasus terbanyak di India adalah heart attack yang terkait dengan penggunaan tobacco. Namun, seorang dokter india juga mengatakan “it’s confusing because at the same time government also support the tobacco farming so the production is also increase while the smokers dont decrease.” 

Bercontoh dari india dengan komitmennya yang kuat dari banyak sektor dan keberhasilan singapura mengatasi tembakau yang sekarang sudah sampai ke tahap menargetkan program Tobacco-free generation, dimana program ini juga sangat menarik bagi saya, pemerintah singapura telah menetapkan peraturan bahwa penduduk yang dilahirkan di atas tahun 2000 tidak boleh merokok sama sekali. Indonesia seharusnya bisa lebih tegas lagi bersikap dalam permasalahan Tobacco control ini. Dari sekian banyak negara yang memiliki komitmen atas pengendalian tembakau, masalah di Indonesia yang didominasi oleh politik, ekonomi, dan ketidakmengertian menghambat negara ini menjadi satu-satunya negara anggota WHO di asia tenggara yang belum meratifikasi FCTC (Frame Convention on Tobacco Control) . Bahkan beberapa kolega saya dari negara lain mengaku terkejut bagaimana bisa Indonesia belum meratifikasi FCTC.

Kenapa begitu banyak orang dari berbagai negara berkumpul untuk mengurusi nikotin ? karena nikotin merupakan zat adiktif yang merusak kesehatan dan banyak aspek kehidupan lainnya yang bertautan seperti ekonomi, pendidikan, HAM, lingkungan dan lainnya. Menurut LD FE UI, kebanyakan rakyat miskin di Indonesia menggunakan 70% pendapatannya untuk membeli rokok dan hanya 3,2% untuk pendidikan. Serta Begitu banyak penelitian membuktikan tingginya korelasi antara penggunaan rokok dengan banyak penyakit. Bahkan menurut Global Burden of Disease, setiap tahunnya di Indonesia ada sekitar 225.000 melayang akibat penyakit terkait penggunaan rokok.

The way forward untuk Indonesia, yaitu segera dilakukan ratifikasi FCTC. Kenapa ratifikasi FCTC ini sangat penting? Karena FCTC seperti sebagai sebuah bible untuk sebuah negara bagaimana untuk melakukan implementasi tobacco control , dan hanya bisa diterapkan setelah negara tersebut meratifikasi FCTC. FCTC dianggap sudah meliputi segala aspek yang dapat diterapkan dalam implementasi Tobacco control di sebuah negara.
  
Seiring berjalannya konferensi ini, saya dipertemukan dengan banyak experienced professional sekaligus aktivis tobacco delegasi dari Indonesia, yaitu:
·         Zakiyah eke S.gizi  (tobacco control support center)
·         Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D (dosen FK UGM)
·         Abdillah Hasan, SE, MSE (lembaga demografi FE UI)
·         Drg. Wasis sumartono , sp. Konservasi gigi (senior researcher litbangkes)
·         Fauzi Ahmad Noor ,S. IP (Muhammadiyah Tobacco Control Centre)
·         H. Imam S. Mochny , dr. , MPH (koordinator SALBR FKM Unair)
·         Bernadette Fellarika Nusarivera ,S.KM ( Bloomberg Initiative Tobacco Control Indonesia)

Melihat masih banyaknya orang-orang Indonesia yang berkomitmen besar dalam tobacco control , saya yakin ke depannya generasi Indonesia bila lebih baik lagi, dimana ada regulasi kuat yang efektif menekan angka perokok di Indonesia. Saya bersyukur dipertemukan dengan mereka dan banyak orang-orang hebat lainnya yang concern dengan masalah tobacco control. Saya ucapkan terima kasih atas semua pembelajaran dan bantuannya selama konferensi berlangsung. Semoga kita semua dapat mengimplementasikan sebaik-baiknya sesuai lingkup pekerjaan dan negara masing-masing. 

Akhir konferensi ditutup dengan pembacaan hasil rumusan deklarasi yang intinya bervisi abad 21 ini diharapkan sebagai periode terakhir dimana masih ada manusia yang menggunakan tembakau. Visi ini didukung dengan beberapa cara, seperti peningkatan pajak tembakau, de-normalisasi penggunaan tembakau, alih lahan , dan lainnya. 

Selain sebuah deklarasi, sebuah resolusi khusus untuk Indonesia yang menyatakan dorongan untuk negara ini dari dunia internasional agar segera meratifikasi FCTC WHO. Kita harap hal tersebut akan membuahkan hasil. Demi Indonesia yang lebih baik!  

change community norms rather than changing people individually.”- Dr. Dileep Bal (salah satu speaker favorit saya )

Salam!
Olivia Herlinda

(Pictures taken by : Fauzi A.N. )
Loncatan para delegasi Indonesia di Humayun's Tomb

berfoto ala kalender akademik


Setelah sesi Presentasi saya