Malam ini saya kembali melihat foto Hadi, icon siswa dari SD Ngawu yang merupakan SD terpelosok dengan umlah siswa paling sedikit di Bromo. Bukan kenapa, hati saya masih tidak dapat mengelakkan kata haru ketika melihat perjuangan mereka.
SD Terpencil dengan Semangat Besar
Jika ditanya siapa di balik layar dari berkembangnya SD terpencil ini maka jawaban pertama saya tentu saja"PARA GURUNYA". Yah...para guru yang mengabdikan diri dan rela bolak balik setiap harinya dari Pasuruan menuju Ngawu dengan perjalanan dua jam adalah orang-orang luar biasa.
Saya tahu perjuangan mereka tiada henti memberikan pengertian sekaligus contoh kepada para orang tua murid bagaimana pentingnya pendidikan sangat luar biasa. Bagaimana tidak, para guru rela mendidik anak selama enam tahun dan setelahnya si anak tidak lagi dapat melanjutkan ke jenjang SMP hanya karena "orang tua" merasa tidak penting akan pendidikan, merasa sudah cukup bisa baca tulis di SD, bahkan merasa tidak ada yang membantu pekerjaan di ladang jika si anak sekolah. Tentunya bukan perasaan yang mudah dihilangkan ketika terjadi ikatan batin dimana para guru akan merasa "eman" jika si anak hanya berhenti hingga SD saja.
Atas dedikasi luar biasa itulah, menurut saya SD Ngawu sudah membuktikannya di 1 Oktober 2013 lalu. Para guru yang bekerja di balik layar pun menjadi saksi bangkitnya SD terpencil, menyemangati diri mereka sendiri agar tidak kalah dengan SD lain yang lebih besar dan banyak jumlah siswanya.
Tidak Tanggung-Tanggung, Juara I
Saya masih teringat ketika sebuah surat undangan ke SD Ngawu masih ada di tangan saya dan tidak adanya sinyal yang baik membuat saya mau tidak mau harus berkunjung langsung mengantarkan surat tersebut. Entah kali ke berapa saya mengunjungi SD tersebut dan entahlah, energi positif dari 20 siswa tersebut selalu mampu membuat saya merasa kangen jika tidak mengunjungi mereka. Dan...dalam kunjungan terakhir pun, surat tersebut saya bawa sekaligus saya ajak para siswa bermain "cuci tangan". Juga joged "sikat gigi" dan ketika saya tanya, "Hayoooh....siapa yang nanti kepengin ikutan lomba cuci tangan?", semua siswa mengangkat tangannya. Itu sudah cukup membuat saya terharu.
Dan itu belum cukup, walau waktu yang mereka punya hanya seminggu saja, para siswa berlatih keras. Saya pun mendapatkan kejutan ketika saya hampir tidak mengenali 5 gadis cilik dari Ngawu tersebut. Pasalnya, rambut dan wajah mereka dihiasi atribut. Lebih tekejut lagi ketika saya melihat Dek Prima, satu-satunya lelaki yang menggenapkan menjadi enam dalam formasi tersebut. Pasalnya, saya tahu Prima ini adalah anak pendiam juga pemalu. Bahkan hingga duduk di kelas tiga, masih selalu diantar dan ditemani oleh ibunya di sekolah. Bagi saya, ini adalah rekor haru yang membuat saya terbengong di balik kamera ketika mengabadikan mereka. Anak-anak ini sekarang sudah bermertamorfosis menjadi lebih baik, lebih pemberani dan lebih lebih lebih.
Ketika lagu "Cuci Tangan Tujuh Langkah" dinyalakan, Dek Prima muncul dengan topeng monyet dan berperan menjadi kuman. SD Ngawu ini menjadi satu-satunya yang mendobrak pakem dan saya tahu ada Pak Guru Udin di balik layar yang high tech dan menyiapkan segala macam lagu penyerta. Bu Guru Dian juga telaten mengajari anak-anak gerakan di luar pakem "cuci tangan" dan karena keunikan itulah, SD Ngawu pantas menggondol juara I.
Dari Langkah Kecil hingga Menjadi Besar
Ide membuat perlombaan cuci tangan seperti ini sebenarnya sudah ada di kepala sejak pertama kali datang hanya saja waktu berkata lain justru lomba ini diselenggarakan sebulan sebelum penugasan saya di Bromo berakhir. Sebelumnya, kami hanya berkeliling ke beberapa SD untuk mengajarkan pola hidup bersih dengan cuci tangan juga sikat gigi. Karena keterbatasan waktu maka sosialisasi tercepat menurut kami yang dianggap mampu menularkan cara hidup bersih ini adalah melalui lomba. Tidak tanggung-tanggung, ini kali pertamanya SD dan TK berada dalam satu lomba secara bersamaan untuk tingkat kecamatan. Total ada 16 D juga 11 TK se-Kecamatan Tosari dan ketika 90 persen hadir, saya hanya mampu mengucapkan terima kasih.
Pasalnya, saya tahu ada banyak sekolahan yang letaknya sangat jauh dan membutuhkan dua jam perjalanan untuk menuju ke lokasi lomba. Tentu saja tidak semuanya mau ikut namun ketika hampir seluruhnya hadir, saya rasanya meleleh. Bahkan bukan hanya itu, para guru TK pun menyumbangkan tarian otak dikombinasi dengan tari cuci tangan sebagai pembukanya. Dan....uniknya, para guru SD pun ditodong untuk maju joged setelah kami berlima Pencerah Nusantara ditodong juga.
Ah....sudah ya. Besok, saya akan kembali ke SD Ngawu untuk sekadar perpisahan kecil-kecilan sebelum 10 hari lagi saya meninggalkan Bromo. Harus siap banyak tisu sepertinya :)
Salam Ngawu
Cuci Tangan Tujuh Langkah
dr.Hafiidhaturrahmah
PencerahNusantaraTosari
SD Terpencil dengan Semangat Besar
Jika ditanya siapa di balik layar dari berkembangnya SD terpencil ini maka jawaban pertama saya tentu saja"PARA GURUNYA". Yah...para guru yang mengabdikan diri dan rela bolak balik setiap harinya dari Pasuruan menuju Ngawu dengan perjalanan dua jam adalah orang-orang luar biasa.
Saya tahu perjuangan mereka tiada henti memberikan pengertian sekaligus contoh kepada para orang tua murid bagaimana pentingnya pendidikan sangat luar biasa. Bagaimana tidak, para guru rela mendidik anak selama enam tahun dan setelahnya si anak tidak lagi dapat melanjutkan ke jenjang SMP hanya karena "orang tua" merasa tidak penting akan pendidikan, merasa sudah cukup bisa baca tulis di SD, bahkan merasa tidak ada yang membantu pekerjaan di ladang jika si anak sekolah. Tentunya bukan perasaan yang mudah dihilangkan ketika terjadi ikatan batin dimana para guru akan merasa "eman" jika si anak hanya berhenti hingga SD saja.
Atas dedikasi luar biasa itulah, menurut saya SD Ngawu sudah membuktikannya di 1 Oktober 2013 lalu. Para guru yang bekerja di balik layar pun menjadi saksi bangkitnya SD terpencil, menyemangati diri mereka sendiri agar tidak kalah dengan SD lain yang lebih besar dan banyak jumlah siswanya.
Tidak Tanggung-Tanggung, Juara I
Saya masih teringat ketika sebuah surat undangan ke SD Ngawu masih ada di tangan saya dan tidak adanya sinyal yang baik membuat saya mau tidak mau harus berkunjung langsung mengantarkan surat tersebut. Entah kali ke berapa saya mengunjungi SD tersebut dan entahlah, energi positif dari 20 siswa tersebut selalu mampu membuat saya merasa kangen jika tidak mengunjungi mereka. Dan...dalam kunjungan terakhir pun, surat tersebut saya bawa sekaligus saya ajak para siswa bermain "cuci tangan". Juga joged "sikat gigi" dan ketika saya tanya, "Hayoooh....siapa yang nanti kepengin ikutan lomba cuci tangan?", semua siswa mengangkat tangannya. Itu sudah cukup membuat saya terharu.
Dan itu belum cukup, walau waktu yang mereka punya hanya seminggu saja, para siswa berlatih keras. Saya pun mendapatkan kejutan ketika saya hampir tidak mengenali 5 gadis cilik dari Ngawu tersebut. Pasalnya, rambut dan wajah mereka dihiasi atribut. Lebih tekejut lagi ketika saya melihat Dek Prima, satu-satunya lelaki yang menggenapkan menjadi enam dalam formasi tersebut. Pasalnya, saya tahu Prima ini adalah anak pendiam juga pemalu. Bahkan hingga duduk di kelas tiga, masih selalu diantar dan ditemani oleh ibunya di sekolah. Bagi saya, ini adalah rekor haru yang membuat saya terbengong di balik kamera ketika mengabadikan mereka. Anak-anak ini sekarang sudah bermertamorfosis menjadi lebih baik, lebih pemberani dan lebih lebih lebih.
Ketika lagu "Cuci Tangan Tujuh Langkah" dinyalakan, Dek Prima muncul dengan topeng monyet dan berperan menjadi kuman. SD Ngawu ini menjadi satu-satunya yang mendobrak pakem dan saya tahu ada Pak Guru Udin di balik layar yang high tech dan menyiapkan segala macam lagu penyerta. Bu Guru Dian juga telaten mengajari anak-anak gerakan di luar pakem "cuci tangan" dan karena keunikan itulah, SD Ngawu pantas menggondol juara I.
Dari Langkah Kecil hingga Menjadi Besar
Ide membuat perlombaan cuci tangan seperti ini sebenarnya sudah ada di kepala sejak pertama kali datang hanya saja waktu berkata lain justru lomba ini diselenggarakan sebulan sebelum penugasan saya di Bromo berakhir. Sebelumnya, kami hanya berkeliling ke beberapa SD untuk mengajarkan pola hidup bersih dengan cuci tangan juga sikat gigi. Karena keterbatasan waktu maka sosialisasi tercepat menurut kami yang dianggap mampu menularkan cara hidup bersih ini adalah melalui lomba. Tidak tanggung-tanggung, ini kali pertamanya SD dan TK berada dalam satu lomba secara bersamaan untuk tingkat kecamatan. Total ada 16 D juga 11 TK se-Kecamatan Tosari dan ketika 90 persen hadir, saya hanya mampu mengucapkan terima kasih.
Pasalnya, saya tahu ada banyak sekolahan yang letaknya sangat jauh dan membutuhkan dua jam perjalanan untuk menuju ke lokasi lomba. Tentu saja tidak semuanya mau ikut namun ketika hampir seluruhnya hadir, saya rasanya meleleh. Bahkan bukan hanya itu, para guru TK pun menyumbangkan tarian otak dikombinasi dengan tari cuci tangan sebagai pembukanya. Dan....uniknya, para guru SD pun ditodong untuk maju joged setelah kami berlima Pencerah Nusantara ditodong juga.
Ah....sudah ya. Besok, saya akan kembali ke SD Ngawu untuk sekadar perpisahan kecil-kecilan sebelum 10 hari lagi saya meninggalkan Bromo. Harus siap banyak tisu sepertinya :)
Salam Ngawu
Cuci Tangan Tujuh Langkah
dr.Hafiidhaturrahmah
PencerahNusantaraTosari
No comments:
Post a Comment