Tepat menjelang lebaran 2013 saya dikejutkan dengan kedatangan puluhan orang Korea. Saya kira mereka wisatawan yang sakit atau membutuhkan pertolongan tapi ternyata saya salah. Serombongan Korea tersebut rupanya sudah lama mempunyai hubungan tak terpisahkan dengan Tengger sehingga hatinya terus terikat disini.
Semuanya berawal dari kunjungan Korea Changwon Hanbit Church delapan tahun yang lalu ke Tengger dan bertemu dengan jamaat gereja di sini. Hingga akhirnya hubungan baik tersebut terus terjaga dimana tim gereja Korea mengirimkan para jemaatnya untuk memberikan pelayanan bagi suku Tengger.
Jadi Dokter Korea
Kali ini saya diminta menjadi dokter untuk mengobati suku Tengger oleh tim Korea. Karena sebagian besar jemaat Korea yang hadir adalah akan sekolahan dan lansia maka beberapa rumus baru dalam penulisan resep pun harus saya ikuti.
Jika setiap anda ke dokter maka ada tulisan 3x1 artinya obat diminum tiga kali sehari maka dalam kaedah Korea semua menjadi kebalikannya 1x3 dimana artinya satu obat diminum tiga kali. Hebatnya lagi, orang asli Korea yang sudah lancer berbahasa Indonesialah yang menjelaskan cara minum obat ke pasien yang sudah saya periksa. Hingga akhirnya saya meminta farmasis Olivia Herlinda untuk turun membantu karena saya takutnya pasien yang sudah biasa dengan tulisan 2x1 menjadi bingung ketika dibalik 1x2. Serem banget membayangkan obat diminum dua butir sekaligus, apalagi kalau itu penurun tekanan darah.
Salut Ama Korea
Awalnya saya bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan Korea yang bahasa Inggrisnya juga minimalis namun melihat kesungguhan mereka melayani suku Tengger saya jadi mengerti bahwa bahasa tubuh dan bahasa hati akhrinya jadi jawabannya. Bukan hanya memberikan pengobatan massal saja, jamaat Korea juga memberikan pelayanan ala salon mulai dari mewarnai kuku hingga potong rambut gratis. Seru pokoknya melihat hampir warga Tengger yang saya periksa sudah memakai kutek merah jreng. Senyum juga selalu terlihat tersungging karea warga mendapatkan kenang-kenangan seperangkat peralatan kamar mandi.
Bahkan bukan hanya itu, di meja pendaftaran dan meja pemeriksaan tekanan darah dan gula darah gratis pun orang korea yang melakukannya. Tentu saja dengan kertas bertuliskan Hangeul yang harus saya isi dengan bahasa Indonesia. Tentu saja ini bukan tanpa kendala karena saya sering bertanya ulang ketika tekanan darah angka 170 mirip dengan 120 atau sebaliknya lantaran memang gaya tulisan angka 7 dan 2 sulit dibedakan. Lebih baik bertanya bukan daripada salah meresepkan obat.
Akulturasi Budaya
Tentunya pertemuan dengan lebih dari 20 Korea dari beragam umur ini tidak saya sia-siakan. Saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk ngobrol dengan mereka setelah acara selesai. Beberapa ternyata pernah mengenyam bangku luar negeri sehingga bahasa Inggrisnya sangat mudah dimengerti.
Film Korea, ini tidak luput dari benak saya ketika di negara saya sendiri sedang boomingnya beragam film dari Korea. Bahkan ketika saya sebutkan beberapa film fenomenal seperti Full House atau Princess Hours, mereka terkejut karena film itu juga menjadi fenomenal di Korea.
“Kalau orang Korea sendiri gak sampai nangis ketika nonton, film itu gak akan mungkin sampai ke negara lain” wah ternyata saya dapat bocoran bagaimana cara Korea memilih film mana yang akan mengguncang negara lain.
Dan ketika mereka menanyakan apa bedanya film Indonesia dan Korea, diplomatis saya jawab begini.
“Well, film atau sinetron di Indonesia lebih banyak menjual mimpi juga air mata dan terkadang tidak masuk akal. Tapi yang tidak kita punya seperti film Korea adalah semangat kebangsaan dimana setiap film Korea pasti ada adegan yang menceritakan sejarah kerajaan Korea dan hormatnya penduduk kepada pemimpinnya. Disini, tidak pernah ada sinetron yang di tengah-tengahnya tiba-tiba muncul foto Presiden atau apapun yang berhubungan dengan bangsa. Yap, menurut saya itu penting karena rasa cinta tanah air dan semangat perjuangan dapat diselipkan di semua film”
Dan jawaban saya itu bukan sekadar jawaban memuji Korea namun lebih karena keprihatinan maraknya sinetron yang sudah jauh dari nilai ke-INDONESIAAN. Yang saya tahu, Indonesia itu masih menganut adat timur yang kental dan akan menjadi tabu jika seorang anak berteriak-teriak mengupat orang tuanya bahkan hingga berbuat jahat dengan fisik terhadap orang tuanya. Seburuk apapun zaman sekarang, saya sangat percaya masih banyak anak-anak Indonesia yang beradab dan berbudi pengerti baik.
Salam Korea-Tengger
dr. Hafiidhaturrahmah
Pencerah Nusantara Tosari
No comments:
Post a Comment