Perjalanan saya kali ini menuju sebuah desa kecil yang terpencil di kaki Bromo. Tujuannya hanya satu untuk memeriksa kesehatan kandungan para ibu hamil menggunakan alat Vscan. Alat ini mirip dengan USG secara fungsi namun ukurannya hanya seperti telepon genggam saja yang dapat dibawa kemana-mana. Melewati jalanan yang rusak karena terjangan hujan juga wara wiri pick up pengangkat kentang, maka perjalanan kali ini membawa saya bertemu dengan dukun ajaib.
Nama aslinya Mbah Poninten namun perempuan yang sudah memasuki usia senja dan tidak tahu berapa umurnya sendiri ini akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Yo. Pasalnya anak pertamanya bernama Mariyo rupanya. Mbah Yo ini sudah secara turun temurun menjadi dukun bayi di desa tersebut dan menolong banyak ibu melahirkan. Jika diperkirakan umurnya 70-an maka Mbah Yo sudah 40 tahunan menjadi dukun bayi. Bahkan saking tidak pernah ingat kapan lahir, Mbah Yo hanya mengingat zaman orang memakai pakaian dari sisa karung goni yang saya pikir itu zaman penjajahan Jepang. Ternyata kisah yang saya baca di buku-buku sejarah tersebut benar adanya. Bahwa negara kita rakyatnya hidup dalam kemiskinan mendarah daging ketika dijajah.
Bercengkrama dengan Mbah Yo membuat saya membayangkan zaman dahulu kala dimana hanya ada satu bidan utama di desa tempat saya mengabdi ini maka para dukun bayi seperti Mbah Yo adalah orang yang sangat dibutuhkan. Dengan pengetahuan menolong ibu hamil yang hanya diturunkan dari sesepuh sebelumnya, Mbah Yo bahkan konon bisa "membolak-balik" posisi bayi yang belum benar. Luar biasa sebenarnya kemampuan yang Mbah Yo miliki dibanding dengan tingkat pendidikan yang tidak pernah dienyamnya. Bahkan konon dahulu kala Mbah Yo masih menggunakan "bambu" yang ditajamkan untuk memotong tali pusar karena tidak ada gunting atau benda tajam lainnya kala tersebut. Bahkan di era tidak ada kendaraan sama sekali, Mbah Yo rela berjalan puluhan kilometer jika dipanggil ibu hamil.
Dari sekian banyak pengalaman Mbah Yo, ada satu pengalaman yang tidak dia lupakan ketika menolong persalinan ibu dimana mengalami kesulitan mengeluarkan bayi lantaran bayinya besar. Saya tidak terbayang juga saat itu jika ada robekan dan perdarahan bagaimana karena Mbah Yo tidak menggunakan peralatan medis sama sekali dalam menolong persalinan. Bahkan ketika saya tanyakan apakah pernah mendapatkan ibu melahirkan yang mengalami perdarahan hebat setelah bayi lahir, Mbah Yo hanya menggeleng.
"Kalau yang banjir-banjir darahnya belum pernah bu" begitu jawab Mbah Yo yang menganggap perdarahan yang bahaya ya yang sampai banjir-banjir saja sementara yang sedikit dianggap sebagai perdarahan normal.
Saya hanya geleng pertama menganggap Mbah Yo termasuk dukun bayi beruntung karena tidak pernah mendapatkan persalinan yang membutuhkan penanganan medis. Karena penasaran saya mulai menanyakan lagi terkait kematian ibu atau bayi yang pernah Mbah Yo tolong.
"Ya ada yang mati ada juga yang selamat bu dokter. Dulu bayi kembar saya tolong. Satunya meninggal lalu satunya lagi posisinya saya balik dan hidup" mendengar kisah Mbah Yo membutuhkan pemahaman tingkat dewa karena bahasa khas Tengger yang digunakan membuat beberapa kosa katanya tidak saya mengerti. Beruntung saat itu saya ditemani oleh Bidan Zeni yang sudah lebih lama mengabdi di desa tersebut.
Nah, yang membedakan Mbah Yo dengan dukun lainnya yang pernah saya temui adalah keinginannya untuk terus belajar. Tampak Mbah Yo pernah bertemu saya enam bulan yang lalu di acara pelatihan kemitraan Dukun-Bidan. Rasa tidak keminter membuat Mbah Yo mudah diajak bekerja sama dengan bidan setempat. Ini merupakan salah satu upaya merangkul para dukun agar mau menolong persalinan bersama-sama bidan. Pasalnya hanya satu, supaya ibu dan bayi yang lahir selamat dan sehat. Walaupun untuk menjalin kerja sama antara bidan dan dukun bukan hal mudah karena jelas saja ada ranah-ranah "uang" yang akan berkurang.
Pasalnya, dukun bayi bukan hanya membantu melahirkan saja melainkan merawat bayi termasuk memandikan dan memijat hingga si bayi berumur 40 hari. Untuk pekerjaan tersebut biasanya bidan bayi mendapatkan upah dari keluarga yang memanggil sekitar 200-250 ribu tergantung kemampuan sosial ekonomi keluarga tersebut. Nah jika dukun bermitra dengan bidan dimana setiap ibu yang merasa akan melahirkan akan memanggil dukun dan dukun pun memanggil bidan maka upah tersebut akan "menghilang". Persalinan yang saat ini banyak menggunakan "JAMPERSAL" alias gratis bagi ibu hamil hanya mampu memberikan subsidi bagi dukun maksimalnya 50 ribu saja. Tentu itu jumlah yang kecil dibandingkan dengan jumlah yang seharusnya jika dukun menolong persalinan sendiri.
Uang tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan taruhan keselamatan ibu dan bayinya. Itulah penyebabnya mengapa di desa tempat saya ini yang ternyata masih banyak desa-desa kecil terpencar, dukun lebih memilih menolong persalinan tanpa memanggil bidan. Itulah mengapa diadakan pelatihan dan juga perjanjian supaya dukun menjadi lebih pintar. Bersama-sama bidan menolong persalinan dan tidak seperti dulu, dukun sudah tidak boleh lagi memotong tali pusat bayi baru lahir apapun alat yang digunakan karena belum disterilkan.
Selama saya memeriksa kehamilan menggunakan alat seperti televisi bergambar, Mbah Yo ikut memperhatikan. Saya tunjukkan juga kepada Mbah Yo bahwa kehamilan beresiko sekarang dapat terdeteksi dengan menggunakan alat tersebut. Saya menemukan kehamilan kembar yang beresiko dan ajaibnya Mbah Yo ikut memotivasi ibu hamil tersebut untuk lahir di tempat kesehatan.
"Gak olih telat nyeluke yo....ndang iso digawa mudun diperiksa dokter" begitu ujar Mbah Yo kepada ibu hamil yang artinya "tidak boleh terlambat memanggilnya supaya dapat segera dibawa turun ketemu dokternya"
Mbah Yo menjadi contoh dukun pintar yang memilih untuk bekerja sama dengan bidan. Saya yakin jika semua dukun bayi mau membuka diri seperti Mbah Yo maka angka kematian ibu dan bayi akan menurun. Karena bagaimana pun kita berharap seluruh kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan yang profesional. Dukun sebaikanya dirangkul dengan pendekatan khusus dan bukan perasingan karena bukan tanpa dukun maka akan banyak sekali ibu hamil yang tidak terdeteksi. Adat kebudayaan yang masih kuat di pedesaan sudah saatnya dilihat sebagai "sahabat" dibanding "musuh" yang tidak pernah ketemu simpulnya dengan para tenaga kesehatan. Semoga Indonesia Makin Sehat!
Salam Sehat
dr. Hafiidhaturrahmah
No comments:
Post a Comment