Saya masih berada di sebuah desa di kaki Bromo yang ternyata memproduksi susu sapi selain bertani. Setelah 4 bulan berkeliling ke berbagai desa, akhirnya saya sampai di desa Baledono. Jika anda berpergian menuju Gunung Bromo dari arah Pasuruan-lalu naik ke Pasrepan hingga Puspo maka desa Baledono akan anda temui sebagai pintu masuk ke kawasan wisata Bromo. Memang jalur pendakian menuju Bromo ini tidak terlalu ramai seperti jalur melalui Probolinggo. Wajar kiranya karena kendaraan dari Pasuruan menuju Bromo melalui desa tempat saya tingga ini terbilang sulit.
Pertama kali mencapai Desa Baledono, kami langsung disambut dengan hangatnya susu sapi murni dan juga pisang goreng yang lezat.
Nah, desa Baledono ini menurut saya unik karena terdiri dari tiga dusun yang menyimpan beragam potensi. Perjalanan ke Desa Baledono ini hanya membutuhkan waktu setengah jam dari puskesmas Tosari tempat saya bertugas. Bersama tim, kami menginap selama empat hari untuk melakukan pendataan kesehatan keluarga. Setelah melakukan pertemuan dengan semua kader dan melatih mereka cara melakukan pendataan sederhana maka keesokan harinya perjalanan seru saya dimulai.
Setiap satu personel Pencerah Nusantara akan ditemani oleh kader ketika turun ke desa. Kader ini sangat penting dalam kesehatan desa karena kaderlah yang membantu keseharian pekerjaan tenaga kesehatan yang ada di desa tersebut seperti bidan. Kader yang mengumpulkan para ibu dan bayi untuk datang ke Posyandu. Tidak jarang juga kader harus memberikan pengertian ke masyarakat yang takut membawa anaknya diimunisasi wajib hanya karena panas setelah disuntik. Kader dengan tanggungjawab berat ini dipilih oleh masyarakat desa sendiri. Bukan hanya setahun dua tahun, saya pernah bertemu kader yang sudah mengabdi 15 tahun lamanya. Tidak terlihat seraut wajah penuh penyesalan ketika mereka tidak mendapatkan upah yang layak karena bagi mereka kader adalah jalan mengabdi untuk membuat desa mereka lebih sehat.
Ditemani kader, perjalanan terasa jauh lebih menyenangkan. Menatap keseharian penduduk desa ini dari dekat terkadang membuat saya miris. Ada dusun yang saya tempuh dengan berjalan kaki satu jam sebelum mencapai bibir jalan raya dan hanya jalan utama yang hancur itulah yang menjadi jalan penghubung ke dusun tersebut. Saya bahkan menemui beberapa ibu hamil yang saya periksa menggunakan Vscan sebagai pengganti USG yang dapat dibawa kemana-mana. Saya tidak dapat membayangkan ketika ibu hamil tersebut harus melewati medan yang setengah mati dilewati motor karena cara terbaik adalah dengan berjalan kaki. Dan ternyata memang pernah ada orang hamil yang terpaksa ditandu lalu digotong ramai-ramai demi mencapai pelayanan kesehatan terdekat. Saya menelan ludah. Ternyata delapan desa yang ada di kaki gunung Bromo dan menjadi tanggung jawab saya ini mempunyai medan yang hampir sama. Ini masih di JAWA tapi tidak jarang kematian ibu hamil dan bayi terjadi karena terlambatnya pertolongan datang.
Sepanjang perjalanan, saya berkenalan dengan berbagai keramahan warga. Keseharian mereka yang mempunyai sapi perah harus mencari rumput pagi dan sore hari demi sapi. Air tidak selamanya ada karena mereka harus mengambilnya terlebih dahulu di tempat penampungan air utama. Dan merokok sudah menjadi kebiasaan sehari-hari seluruh penduduk baik laki maupun perempuan karena memang kondisi dingin. Dan tidak jarang, kopi menjadi pengganti air putih untuk mereka. Pemandangan luar biasa yang membuat otak saya berpikir bagaimana membuat mereka sehat sementara mereka tidak merasa ini menjadi masalah. Yah, kita nikmati saja berbagai foto yang merekam keindahan desa ini.
Salam Pencerah Nusantara Tosari
dr.Hafiidhaturrahmah
No comments:
Post a Comment