Kali ini perjalanan saya kembali menyusuri sebuah dusun terpencil yang hanya memiliki 21 bangunan rumah saja. Dengan jalan yang berlubang parah karena pengaruh hujan juga dilewati berbagai truk pengangkut kentang, akhirnya saya sampai di dusun tersebut. Hal pertama yang saya rasakan ketika menyentuh jari-jari mungil para balita disana adalah miris. Jumlah balitanya dapat dihitung dengan jari apalagi jumlah anak yang bersekolah di tingkat SD, tidak pernah lebih dari lima setiap tahunnya. Ini hampir mirip dengan kisah Laskar Pelangi dimana guru mencari murid namun saya rasa ini lebih parah.
Bapak Ketua RT menjelaskan kepada saya total jumlah murid di sebuah SD yang jaraknya setengah jam jalan kaki dari dusun tersebut totalnya tidak lebih dari 25 anak. Itupun ujarnya sudah digabung dengan dusun tetangga yang jaraknya setengah jam juga bersimpangan dengan dusun si Pak RT. Terkadang setiap kelas hanya diisi oleh satu hingga dua murid karena kemampuan akademik yang kurang sehingga tidak jarang muridnya harus mengulang kelas kembali. Namun hebatnya, jumlah personel guru yang ada 10 di sekolah tersebut tetap bersemangat mengajar hingga sekolah tersebut usianya 10 tahun lebih. Bahkan walau para guru harus datang dari desa lain yang jaraknya berjam-jam pun tetap mereka datang mengajar.
Masa Depan Anak Indonesia
Saya kembali menghela napas, melihat anak-anak SD melangkahkan kaki dengan taruhan mereka belum tentu dapat melanjutkan pendidikannya di bagku SMP apalagi SMA. Pasalnya, keseharian orang tua yang bekerja sebagai petani terkadang mengharapkan bantuan anaknya sehingga hanya beberapa anak saja yang melanjutkan ke tingkat SMP. Bagaimanapun investasi pendidikan masih sulit dilihat hasilnya dan dianggap sudah cukup jika anak dapat membaca dan menulis saja. Padahal anak masih membutuhkan lebih banyak pengalaman belajar tidak hanya bisa membaca dan menulis saja.
Dan ketika saya memasuki rumah per rumah untuk memeriksa keluarga, saya makin miris karena melihat bayi berumur baru tiga bulan tertidur karena disuapi pisang. Si ibu yang usianya saya duga masih belum mencapai 20 tahun tersebut terlihat menggendong bayinya walaupun asap perapian dari dapur ada dimana-mana. Saya yang sudah dewasa saja merasa mata memerih terkena asap tapi tampaknya si ibu berpikiran lain atau mungkin sudah terbiasa dan si bayi pun mengikuti si ibu, terbiasa menghirup asap.
"Ibu...hayoh disuapi pisang apa itu?Kecil apa besar?" seperti kepergok namun si ibu hanya senyum-senyum.
"Kecil bu..."
"Ayo saya lihat kayak apa pisangnya" dan mau tidak mau keluarga lainnya mengambilkan pisang yang masih ada di dapur dan membuat saya terbelak. Panjang pisang yang keseharian menjadi makanan si bayi tersebut sama seperti pisang ambon besar.
"Weleeh...katanya kecil. Kalau ini mah besar ibu....Berapa banyak dedek bisa habisin pisangnya?" dan kali ini si nenek yang menjawab lancar.
"Waah kalau dedek makannya banyak. Sehari tiga pisang aja kadang masih minta lagi. Nangis terus" dan saya hanya geleng-geleng. Menangkap basah kejadian seperti ini membuat saya ingin menangis. Baru kali ini saya melihat sendiri bayi yang seharinya dapat menghabiskan tiga butir pisang besar. Bagaimana anak-anak Indonesia mau jadi pintar kalau ibu-ibunya saja belum pintar. Saya tidak menyalahkan si ibu karena tentunya adat serta kebiasaan menjadi hal yang sulit untuk mulai diubah.
"Kan kalau disini baru lahir memang harus disuapi pisang ibu. Malah kadang bayi yang baru lahir sudah bisa habis satu butir pisang"
"Minum kopi juga?"
"Ya kadang dikasih kopi supaya ndak kejang bu"
Dan pisang sekaligus segelas kopi yang saya ambil gambarnnya ini membuat ibu-ibu lain mulai berkerubung. Bagi saya ini kesempatan karena memang dusun terpencil tersebut belum tersentuh oleh pelayanan Posyandu setiap bulannya.
"Waaah....lambung bayi yang baru lahir bentuknya cuma se-kelereng loh bu. Gak lebih besar dari jempol saya malah. Dengan ukuran sekecil itu si lambung belum siap dimasuki makanan padat seperti pisang"
"Dulu saya didulang pisang juga dan sehat bu" para nenek yang mulai berkumpul seperti biasa mengucapkan kalimat dalih tersebut.
"Itu karena Sang Hyang Maha Pengasih. Dikasih sehat dan ndak ngalamin gejala yang bahaya. Tapi sekarang sudah ndak boleh lagi yang begitu" saya menjelaskan menggunakan Bahasa Tengger supaya lebih mudah dipahami.
Setelahnya penjelasan sederhana yang dapat ditangkap oleh para ibu juga mbah-mbah pun saya coba menjelaskan mitos kopi yang dipercaya sebagai minuman pencegah supaya bayi tidak kejang.
Dan akhirnya hanya dalam waktu yang tidak terlalu banyak, dengan guyon saya mengajak para ibu untuk berkumpul. Mereka tertarik untuk mempunyai posyandu juga yang nantinya dapat menjadi tempat imunisasi sekaligus menimbang bayi. Yah, alkisah si bayi tiga bulan tadi, dia lahir dengan sendirinya tanpa bidan atau pun dukun,hanya ditolong neneknya saja dan selamat. Setelah tiga bulan, barulah saya mengunjungi dusun terpencil tersebut dan si bayi untuk pertama kalinya ditimbang.
Semangat Ibu Belajar ASI
Kedatangan saya pun dilanjutkan dengan keberuntungan karena para ibu mau berkumpul untuk belajar bahkan ibu di dusun tetangga pun katanya mau diundang. Saya terenyuh mendengar mereka antusias untuk mempersiapkan diri belajar di keesokan harinya. Tidak tanggung-tanggung, kesempatan ini ajang langka untuk mempertemukan para petinggi desa juga sekaligus memperkenalkan ibu bidan yang akan bertugas di daerah tersebut.
Dibantu oleh para warga desa, saya beserta tim (bidan, perawat, apoteker) melewati jalanan yang sudah rusak parah. Beruntung kendaraan roda dua tersebut membawa kita dengan selamat. Para ibu sudah menanti dan kami dipinjami sebuah ruang kelas untuk belajar bersama. Mereka berjalan dari dusun untuk menuju ke SD dan saya tahu mereka tetap menahan dingin.
Penyuluhan di malam hari tersebut mengingatkan saya akan kebiasaan rapat atau arisan yang selalu malam hari di Tengger. Konon malam diambil karena dari pagi hingga sore mereka harus bertani. Kali ini belajar mengenal ASI bersama ibu-ibu termasuk memperbaiki beberapa mitos yang berkembang. Saya tidak tahu seusai dari penyuluhan ini, para ibu akan meninggalkan pisang yang sudah menjadi budaya atau tidak. Saya juga tidak tahu seberapa banyak ibu yang akan memberikan ASI saja hingga umur enam bulan. Saya bahkan tidak tahu banyak hal tentang kehidupan juga kesulitan mereka karena yang saya tahu hanyalah: Jangan pernah bosan menyuluh pentingnya ASI EKSLUSIF.
Terkadang, banyak adat kebiasaan masih dipertahankan hanya karena ketidaktahuan dan disanalah peranan kita diberikan pengetahuan lebih untuk membagikan ilmu. Saya selalu optimis jika setiap wanita mempunyai pengetahuan lebih tentang ASI maka dia akan menjadi ibu yang memberikan ASInya kepada bayi. Dan penelitian dari Oxford mengatakan bayi yang diberikan ASI ekslusif terbukti mempunyai IQ delapan kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Jika menuju Indonesia sehat dimulai dari memberikan ASI Esklusif kepada semua bayi yang lahir maka saya yakin 10 tahun ke depan para pewaris bangsa ini mempunyai kapasitas otak yang lebih.
Salam Optimis
dr.Hafiidhaturrahmah
Pencerah Nusantara Tosari
No comments:
Post a Comment