Melanjutkan perjalanan saya menikmati perayaan Kasada kali ini, saya sengaja memilih berpisah dari rombongan ambulance. Selain sudah ada dokter lain dan tenaga kesehatan yang berjaga, saya memang ingin menikmati Kasada bersama penduduk Tengger secara lebih dekat.
Kali ini keluarga Pak Edi yang menjadi teman seperjalan saya. Sengaja saya tidak menuju kawah Bromo pada tengah malam lantaran pesta pembukaan Kasada sendiri baru selesai tepat tengah malam. Rekan saya ada yang melanjutkan langsung naik ke Bromo karena ingin mengabadikan "ujian para dukun". Yah...Kasada ini bukan hanya seserahan dari masyarakat Tengger saja namun ada beragam rangkaian ritual lainnya.
Pentingnya Dukun Adat
Bagi suku Tengger, dukun adat adalah tetua yang dipercaya akan menjaga desa mereka dari marabahaya. Tidak mudah menjadi dukun adat yang masa kerjanya ini seumur hidup. Butuh berbagai ujian salah satunya adalah melantunkan hafalan mantra di puncak Bromo. Berbeda dengan pelajar yang dapat menuntut ilmu di bangku sekolah, menjadi dukun merupakan gabungan faktor "terpilih" sekaligus "warisan". Namun tidak menutup kemungkinan ilmu perdukunan ini dapat dipelajari otodidak dari para dukun yang lebih senior. Dukun Tengger memang luar biasa karena mereka menghafalkan banyak mantra dalam bahasa Tengger juga sanseketr tanpa pernah naskah mantra yang diturunkan tersebut diubah dalam bentuk tulisan.
Pak Supayadi, dukun tertua di Tengger ini pertama kali saya temui ketika menginjakkan kaki di tanah Bromo. Ternyata bukan hanya orang Tengger saja yang percaya berkah dari kawah Bromo karena nyatanya tidak sedikit para pembesar di negeri ini (yang tidak dapat saya katakan karena rahasia) menimba ilmu pada dukun senior ini. Bahkan dalam setiap acara adat selalu Pak Supayadi menjadi tetua dalam memimpin doa. Termasuk ketika semalam beliau memasangkan iket sebagai bentuk peresmian dari warga Tengger terhadap Bupati dan Camat baru.
"Perayaan Kasada ini merupakan tradisi yang harus terus dilestarikan. Bukan hanya milik orang dengan agama tertentu tapi milik semua warga Tengger" pada doanya Pak Supayadi menyelipkan kalimat tersebut.
Memang benar, uniknya Kasada ini tidak hanya untuk umat agama tertentu namun seluruh warga bersatu padu merayakan Kasada demi kemajuan desa. Dukun yang kini berusia 62 tahun tersebut sudah dipercaya selama 14 tahun memimpin masyarakat Tengger.
Kasada di Mata Warga Tengger
"Ini memang tradisi yang sudah kami percaya secara turun menurun sebagai orang Tengger. Para nenek moyang kami dulu bahkan rela menempuh perjalanan jauh dengan hanya berjalan kaki demi melanjutkan sumpah putra ke-23 Rara Anteng dan Jaka Seger (Teng-Ger). Kami memberikan hasil panen terbaik yang kami punya sebagai bentuk syukur denga harapan tahun depan akan dilimpahkan panen berlipat lagi. Bahkan tidak sedikit yang memberikan ayam atau kambing"
Pak Edi menceritakan Kasada menurut kepercayaan Tengger sepanjang perjalanan menaiki jip. Saya bahkan mengabadikan Pak Edi setiap kali beliau meletakkan persembahan atau sajen. Peletakkan ini bukan sembarangan namun membutuhkan hati yang suci. Nilai budaya dan kepercayaan yang terkandung di dalamnya sangat besar. Bukan hanya melarung di kawah Bromo saja namun ada beberapa titik yang harus diberikan sajen juga.
Peletakkan pertama di Dingklik lalu dilanjutkan di daerah Pakis Bincil kemudian turun melewati belokan menyerupai huruf S yang dikenal sebagai letter S baik di ujung awal hingga akhirnya. Masih melewati kawasan Pakis Bincil ditutup dengan satu sajen dan memasuki lautan pasir akan diberikan totalnya tiga sajen di tiga tempat berbeda hingga yang terakhir tepat di bawah tangga sebelum naik ke kawah Bromo. Pak Edi tidak menceritakan kepada saya mengapa harus ada beberapa tempat peletakkan sajen tapi menurut saya karena hal baik tidak hanya harus dilakukan di satu tempat saja. Jika memberikan persembahan memuat doa yang dipercaya suku Tengger dapat memberkahi mereka maka beberapa tempat jelas lebih baik.
Perjuangan menuju Puncak dengan Berdesakan
Bukan hal mudah menuju puncak kawah di saat Kasada karena jalanan penuh sesak. Namun saya menikmati perjalanan dengan memperhatikan antusiasme para warga. Tidak sedikit saya bertemu dengan warga yang pernah menjadi pasien maupun kader kesehatan. Rasanya seperti reuni akbar dimana setiap beberapa langkah akan ada saling sapa. Baik tua, muda, besar, kecil, kaya, miskin semua berkumpul dan berjalan bersamaan mendaki setiap anak tangga menuju kawah Bromo. Lautan manusia ini tidak pernah berhenti dari tengah malam (23/7/2013) hingga sore nanti (24/7/13). Bahkan rintik gerimis yang sesekali berubah menjadi hujan lebat tidak membuat lautan massa ini berkurang. Hujan ini dianggap berkah yang dipercaya akan membawa kebaikan untuk satu tahun ke depan.
Tradisi Larung dan Tangkap Sajen
Yadnya Kasada, atau persembahan suci dalam bulan Kasada ini tidak terlepas dari budaya "larung" atau halusnya "mengantarkan" dimana para warga Tengger mengantarkan beragam hasil panen yang telah didoakan oleh Dukun Adat. Karena banyaknya warga yang memadati pinggiran kawah Bromo maka perssembahan ini tidak bisa diletakkan dengan pelan sehingga banyak warga melempar persembahan hingga masuk ke dalam kawah. Namun jangan salah, banyak warga yang rela melewati kawah licin agar berada di bagian bawah dan dapat menangkap hasil lemparan warga lain.
Konon, tangkapan ini dipercaya dapat membawa berkah juga apalagi jika yang ditangkap berupa bibit kentang, palawija, atau kobis. Melihat hal tersebut saya tidak habis pikir bagaimana para warga ini menuruni kawah perlahan. Tapi memang tidak pernah saya dengan ada korban yang sampai terpeleset di kawah Bromo bahkan selicin apapun kawahnya.
Bukan Hanya Sekadar Kasada
Bagi saya, ini Kasada pertama yang membuat saya lebih menyadari arti sebuah kearifan lokal. Bahwa kepercayaan apapun itu bukan hanya sekadar percaya tetapi lebih dari itu. Ini adalah sebuah ajang saling berbagi rezeki. Bagi para pelarung, ini adalah kesempatan memberikan yang terbaik dan berharap ada orang di bawah yang menangkap pemberian mereka agar menjadi berkah juga. Kasada menurut saya juga menjadi tempat berkumpulnya seluruh warga Tengger bukan hanya dari desa Tosari tempat saya bertugas melainkan dari tiga kabupaten lainnya yaitu Lumajang, Probolinggo dan Malang. Tradisi yang harus dijaga kelestariannya dan lebih bagus jika dapat dikemas hingga menjadi satu penarik wisatawan. Toh Bromo sendiri sudah menjadi daya tarik khusus apalagi jika ditambah dengan Kasada.
Salam Kasada
dr.Hadiidhaturrahmah
Pencerah Nusantara Tosari
No comments:
Post a Comment