Tim Pencerah Nusantara bersama Bupati Pasuruan dan jajarannnya |
Suasana upacara hari sumpah pemuda di kantor bupati |
Jelang satu bulan di wilayah penempatan,
seluruh tim Pencerah Nusantara sudah disibukkan dengan kegiatan need assessment wilayah kerja masing-
masing. Media percakapan telewicara whatsapp dan blackberry group yang dulu
ramai dengan posting foto dan tanya
jawab gak penting mulai jarang muncul. Sesekali akan ramai sekali ketika tukar
pikiran metode assessment atau saran untuk pasien dengan kasus unik dimulai.
Semua ingin menolong dan memberi masukan.
Riuh tawa ala training 7 minggu perlahan
menjadi lebih serius. Beberapa tim malah harus mengisolasi diri karena
terbatasnya sinyal jaringan selular, apalagi mengharap internet. Tim lain yang
tak punya kendala jaringan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan suhu daerah
yang terlalu panas atau terlalu dingin. Tiap orang punya masalah adaptasinya
masing- masing, tapi semuanya menepis banyak perubahan dalam hidupnya dan
berusaha menjalani satu demi satu tugas, amanah sebagai Pencerah Nusantara.
Tim Tosari sendiri belum terlalu
bersahabat dengan dinginnya dataran tinggi Tengger yang menusuk tulang. Sejenak
bayangan keberangkatan satu bulan yang lalu kembali mampir di benak. Mengingat bagaimana
kami, tim Tosari terdampar di sini.
Satu bulan yang lalu.
Tim Tosari
tiba di Bandara Internasional Juanda Surabaya pada pukul 11.30 Wib. Perjalanan
udara selama 1,5 jam dengan menumpang pesawat Lion JT 0574 seat 27 A-E untuk 5
orang cukup menjadi waktu tidur yang nyenyak bagi kami semua ; Emak Avis, Fai,
Fe, Nene dan Oliv. Perpisahan bersama tim lainnya di Bandara Internasional
Soekarno Hatta Jakarta masih cukup menyisakan kesedihan dalam haru. Lantunan
lagu kebangsaan Indonesia Jaya dan Merah Putih masih terngiang di telinga.
Tepuk semangat Haji Imron untuk Pasuruan membekas jelas dalam ingatan.
Tapi kali
ini hanya ada 5 orang, yang kesemuanya wanita. Semua saling bertatapan dan
memandangi wajah dan punggung satu dan yang lainnya. Tersirat kelelahan, rasa
bingung, antusiasme, dan semangat bercampur cemas. Tak ada jerit riang 27 orang
lainnya. Kini kami sudah sah menyandarkan hidup satu sama lain, hanya pada 5
orang ini. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kami mencoba melangkah
mantap menjejakkan kaki di Jawa Timur, siap menuju Pasuruan.
Setelah
membersihkan diri dan mengambil bagasi, kami mendapatkan telepon jemputan dari
pihak dinas kesehatan yang diwakili oleh ka. PSDM bu Diah. Dinas Kesehatan
menjemput dengan 1 mobil penumpang dan 1 mobil untuk barang. Bu Diah yang
menyetir dengan mobil terpisah mengajak kami makan siang di Ikan Bakar Cianjur
(IBC) dekat Bandara. Mobil untuk tim Tosari disetir oleh Mas Slamet dari Dinas
Kesehatan. Selama makan siang kami berbicara santai mengenai program yang sudah
dijalankan dinas kesehatan dan pengalaman Bu Diah sendiri yang sudah belasan
tahun menekuni kegiatan promosi kesehatan. Tak salah kami bertemu Bu Diah,
pengalamannya di Papua menjadi pemantik semangat tersendiri bagi wanita- wanita
muda seperti kami untuk berkarya dan mengabdikan diri pada masyarakat sebelum
nantinya menyumbang banyak waktu hidup kami bagi ikatan keluarga.
Selesai menyantap
makan siang ikan gurame bakar dan cingur khas Surabaya, kami bersiap menuju
penginapan yang sudah dipersiapkan di Bangil, sebuah kecamatan di Pasuruan.
Di
perjalanan kami melewati jalan tol lumpur Sidoardjo, yang kemudian membuat kami
penasaran untuk turun dan melihat bencana buatan manusia yang kasusnya tak
kunjung selesai sejak tahun 2006 itu. Pemandangan menyedihkan ini membuat kami
semua terdiam, namun tak banyak yang bisa dilakukan selain mengirim Al Fatihah
berharap semoga penderitaan masyarakat penyintas (survivor) segera
berakhir.
Kami
melanjutkan perjalanan menuju tempat penginapan yang lokasinya memang sangat
berdekatan dengan Dinas Kesehatan Pasuruan. Setelah memindahkan barang ke kamar
dan beristirahat sejenak, kami mendapat kunjungan sambutan dari Ibu Loembini
yang merupakan kepala Dinas Kesehatan Pasuruan. Bu Loembini datang bersama Pak
Agus yang merupakan bagian program, yang juga membawakan kami kue dan snack
khas Pasuruan sebagai buah tangan selamat datang. Dalam suasana santai di lobi
lantai.2 penginapan, Bu Loembini dan Pak Agus menjelaskan beberapa hal terkait
kegiatan orientasi yang akan kami jalani selama beberapa hari ke depan bersama
Dinas Kesehatan.
Maka hari
pertama tim Tosari di Pasuruan diakhiri dengan istirahat panjang sampai malam.
Tak hanya fisik bugar yang ingin didapatkan, tapi juga kesiapan untuk bertemu
dengan Bupati Pasuruan dan seluruh jajarannya esok hari.
Keesokan harinya,
kami bangun pagi pukul 5 pagi dan itu
ternyata sudah kesiangan di Pasuruan. Kami bangkit dari tempat tidur dan kaget
melihat berkas cahaya menembus gorden jendela layaknya sinar matahari jam 8
pagi. Kami segera shalat shubuh, mandi dan berpakaian untuk menunggu jemputan yang
akan tiba pukul 6.30 Wib. Kami akan dijemput untuk mengikuti Upacara Sumpah
Pemuda di Kantor Bupati Pasuruan. Setelah sarapan dan menunggu beberapa saat,
sekitar pukul 7 kami dijemput oleh bu Loembini dan Pak Sutoro.
Tiba pukul
07.30, kami dipersilakan menduduki kursi barisan pertama di bawah tenda
undangan. Kami agak kaget menerima sambutan yang sangat terhormat ini, karena
sebagai sekelompok anak muda yang baru tamat kuliah rasanya agak segan untuk
duduk sejajar dengan jenderal- jenderal, dan bahkan di depan kepala SKPD
Pasuruan. Tapi kekakuan ini coba kami atasi dengan bersikap wajar dan tenang.
Upacara Sumpah Pemuda berlangsung pukul 08.00- 08.30 dengan khidmat. Rupanya di
ujung acara kami mendapat kesempatan untuk dipanggilkan namanya di hadapan
ratusan peserta upacara. Nama kami dipanggil satu persatu sebagai Utusan Khusus
Presiden Urusan MDGs yang akan membantu optimalisasi pelayanan kesehatan primer
di Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kemudian kami bersalaman dengan bapak dan ibu
jajaran pemerintah daerah setempat. Mendapatkan banyak jabatan dan ucapan
selamat hanya dapat kami balas dengan senyuman dan wajah antusias, mengingatkan
diri untuk dapat menjawab harapan mereka atas kami pada optimalisasi kesehatan
di Pasuruan, terutama Tosari.
Selanjutnya
pertemuan yang ditunggu- tunggu tiba. Kami dipersilahkan menuju ruangan Bupati.
Di sana sudah hadir Bupati Pasuruan Pak Dade Angga, Sekretaris Daerah Pak Agus,
Asisten 1 Pak Ariya, Kepala RSPAD Pak Agung, Camat Tosari Pak Sudiro serta
jajaran pemerintahan lainnya. Semuanya duduk mengelilingi meja oval ruangan
tersebut dan menatap kami yang baru mengambil tempat. Pemandangan paling
kentara tampak dari kesetaraan gender dalam ruangan itu, dimana kami semua
adalah perempuan dan seluruh pejabat ini adalah laki- laki. Tapi kami bersama bu
Loembini yang kemudian membuka pertemuan informal ini. Selama pertemuan kami
berkesempatan memperkenalkan diri kami sendiri serta apa yang kira- kira akan
kami lakukan selama setahun ke depan dalam gerakan Pencerah Nusantara ini.
Penjelasan kami yang cukup singkat mendapat balasan sambutan yang baik berupa
pertanyaan, masukan dan dukungan. Pak Dade menitipkan kami pada Pak Sudiro
selaku camat Tosari untuk memastikan kami punya tempat berteduh dan makan
setiap harinya. Pertemuan santai ini diakhiri dengan foto bersama dan jabat
tangan selamat bertugas.
Berikutnya
kami mendapat kesempatan berbicara secara khusus dengan Camat Tosari Pak Sudiro
mengenai kondisi geografis dan masyarakat Tosari. Paparan mengenai semangat
gotong royong, keanekaragaman dan toleransi agama yang sangat tinggi pada masyarakat
suku Tengger Tosari menjadi pembuka pertemuan kami. Berbagai acara adat yang
sudah menjadi bagian hidup masyarakat Tosari menjadi kisah menarik lainnya yang
membuat kami antusias.
Perbincangan
menjadi agak mencemaskan ketika beralih pada masalah sosial kasus bunuh diri. Pada
pertemuan dengan pemerintah daerah Pasuruan di Jakarta, kami sempat mendengar
cerita bunuh diri warga desa pada masa camat sebelumnya, Pak Saifuddin, bahwa
ada 5 orang yang bunuh diri selama 2 tahun masa jabatannya, turun dalam angka
yang sedikit membaik untuk 2 orang selama 2 tahun selama masa jabatan yang
sudah dijalani Pak Sudiro. Fai yang merupakan sarjana psikologi mulai mengerutkan
kening berharap tak ada kasus bunuh diri selama masa penugasan mereka. Kalaupun
berpotensi, tentu harus ada upaya pencegahan.
Kemudian
kami kembali menuju Dinas Kesehatan dan tim di split ke dua tempat yaitu
seminar AMP untuk bidan yang diwakili Fe dan Nene, serta ke seminar staf
promosi kesehatan yang diwakili oleh Emak Avis, Fai dan Oliv. Selesai pertemuan
ini, kami makan siang dan kembali ke penginapan. Agenda selanjutnya adalah
menuju Kecamatan Tosari untuk melihat kondisi wilayah tempat tinggal dan kerja
kami selama 1 tahun ke depan. Ini hanya kunjungan sekilas untuk mendapat
gambaran awal, karena kami masih harus kembali ke Pasuruan untuk agenda
orientasi lanjutan.
Kami
berganti baju santai dan menaiki mobil yang sudah disiapkan. Perjalanan menempuh
waktu 1, 5 jam dengan agak ngebut karena Mas Slamet ingin mengejar waktu agar
tak kemalaman. Jalan yang kami lalui sangat baik karena sudah diaspal
seluruhnya. Hanya saja lintasannya sangat berkelok- kelok dan banyak sekali
tikungan tajam yang harus dilalui yang makin lama tinggi hingga ke puncak.
Kondisi ini membawa pikiran kami melayang membayangkan ini satu- satunya jalan
yang dapat dilewati, tentu akan cukup menguras fisik karena mabuk darat kadang
tak tertahankan.
Kami tiba
di Tosari sekitar pukul 4 sore. Udara cukup sejuk dan berkabut, cuaca yang
sangat wajar untuk wilayah dengan ketinggian 1700- 2700 m dpl. Kami turun dari
mobil dan sangat antusias melihat calon tempat tinggal kami yang selama ini
hanya bisa kami lihat melalui foto- foto yang dikirimkan. Kami masuk rumah
dinas yang sudah disediakan namun masih harus kami isi sepenuhnya dengan
berbagai perabotan dan alat pendukung rumah tangga. Kami sempat berbincang
dengan beberapa warga yang sedang duduk di Puskesmas menunggui keluarganya yang
rawat inap. Pipi mereka merah dan tubuh mereka terbalut kain sarung. Sebuah
anglo atau semacam arang bakar dalam seng bulat sebagai penghangat diri
diletakkan di depan mereka untuk mengurangi rasa dingin yang mulai menyergap.
Kami berkenalan menyebut diri sebagai tenaga kesehatan dari Jakarta yang akan
tinggal selama 1 tahun ke depan di Tosari untuk membantu di bidang kesehatan.
Menjelang
pukul 5 sore, Mas Slamet mengajak kami pulang. Kami pun melaju kembali menuju
Pasuruan. Satu persatu mata mulai terlelap
sambil menahan diri untuk tidak muntah di tengah jalan yang putarannya bagai
roller coaster.
Satu bulan kemudian, hari ini.
Semua pelatihan
yang sudah kami jalani selama 7 minggu mulai berwujud dalam aksi- aksi. Entah
materinya cukup atau tidak, kami tahu bahwa jawaban- jawaban atas pertanyaan
kesehatan di masyarakat kini tidak lagi bisa dijawab dengan esai panjang atau
rancangan program di proposal yang biasa kami tulis pada ujian final semasa
kuliah. Itu masih terlalu mudah. Tidak semua jawaban ada dalam buku. Kami harus
terjun melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi.
Bulan
Desember- Januari tim Tosari akan mulai melakukan need assessment ke 600 KK di
8 desa wilayah kerja kecamatan Tosari, setelah 1 bulan lamanya beradaptasi dan
menentukan ritme kerja yang sesuai. Need
assessment tidak hanya akan menanyakan pertanyaan- pertanyaan di kuesioner
yang belasan lembar, tapi juga melakukan cek kesehatan umum seperti cek tekanan
darah, tes hemoglobin ibu hamil dan golongan darah untuk pendonor di keluarga.
Masuk dari satu rumah ke rumah berikutnya dan menyapa masyarakat. Menanyakan
kondisi kesehatan mereka, melihat langsung kehidupannya bersama keluarga, dan menyentuh
mereka dengan tangan kami sendiri. Saving
lifes requires knowledge, dedication and leadership (Alfred Sommer). Masing-
masing kami membatin, apapun itu, kami ingin berkata : Siap!
Salam Tosari! | ||
No comments:
Post a Comment