Hari ini, 28 Desember 2012, selalu menjadi tanggal keramat
bagi kita. Tepat saat Sumpah Pemuda 28 November 2012 kita ber-32 dilepas di
bandara Soekarno menuju ke 7 lokasi pengabdian kita-dari ujung barat di Mentawai
hingga timur di NTT. Rasanya tidak karuan karena kebersamaan selama dua bulan
harus terpisahkan.
Masih membekas betapa erat dalam ingatan saya sebagai emak
di tim kecil ini bahwa kita pernah mengalami masa-masa sangat sulit. Selama 4
hari pertama ketika pertama kalinya kita berkumpul, kita digabungkan dalam
kelompok per lokasi dan digembleng tim Wanadri. Pernah terbayangkan rasanya
berkumpul dengan orang-orang yang tidak pernah kalian kenal sebelumnya tetapi
dipaksa untuk mengenal mereka dalam hitungan hari saja? Bukan hal mudah
tentunya.
Apalagi bagi para dokter yang dalam hal ini dituntut menjadi
leader dalam setiap tim, meluluhkan ego masing-masing agar dapat meleburkan
diri mengetahui rekan lainnya dalam berbagai profesi. Bahkan bagi profesi lain
yang masih memandang dokter sebagai suatu jabatan sulit “dikritik” hingga
“arogan” tentunya bukan hal mudah pula menerima kenyataan “lagi-lagi” harus
dipimpin oleh dokter. Dan seluruh rasa itu pun akhirnya harus mau tidak mau melebur
dalam satu wadah bernama Pencerah Nusantara.
Sahabat…saat membaca ini, saya yakin kita semua telah DUA
BULAN berada di 7 pedalaman yang semuanya memiliki masalah kesehatan unik baik
terkait akses, pelayanan, maupun harus berhadapan dengan berbagai dinas terkait
juga dukun. Rasa lelah itu pasti akan
muncul ketika kenyataan berbeda dengan impian yang kita cita-citakan. Apalagi ketika intrik-konflik mulai muncul
mewarnai pekerjaan mulia ini.
Mari…saya ajak para dokter duluan untuk kembali mengenang lingkaran
kecil ingtegritas kita saat pertama kali kita bertemu dalam seleksi di Jakarta.
Menerima banyak hal yang tidak masuk akal saat itu tentulah bukan hal mudah
apalagi harus meninggalkan zona nyaman. Saat itu, satu-satunya hal yang akhirnya
membuat kita semua tetap berada dalam lingkaran ini adalah hanya karena
“panggilan jiwa” untuk “mengabdi”. Delapan dokter yang pernah mengabdikan hidup
kita sebelumnya di Rumah Sakit, Puskesmas (PNS), PTT, Ranah Penelitian NGO,
hingga Dosen. Namun, rasa penasaran mengabdikan di wilayah yang akan didukung
dan dikembangkan melalui tangan-tangan Kangtor Utusan Presiden Republik
Indonesia untuk Millenium Development Goals (KUKPRI-MDG) ini membawa kita
berjuang hingga detik ini. Murni bukan karena hal lain karena kalau mencari “itu”
maka jelas Pencerah Nusantara ini bukan wadahnya.
Negara ini memanggil kita untuk membuktikan beragam inovasi promotif
dan preventif dapat benar-benar menyehatkan bangsa. Kesehatan bukan hanya
bagaimana mengobati kesakitan saja tetapi lebih bagaimana mencegah dan
mengetahui kesakitan sebelum bertambah parah. Dan…saat itu kita hanya lingkaran
kecil yang diminta menjadi solid untuk berbaur dengan tenaga kesehatan lain. Kita
para dokter dituntut untuk “momong” adik-adik lainnya dari latar belakang
berbeda. Memberi warna bagi kehidupan mereka bahwa perbaikan kesehatan di
negara kita ini butuh lebih dulu perbaikan di taraf tenaga kesehatannya. Saling
memahami dan kerja sama yang baik antara dokter, perawat, bidan, apoteker,
gizi, epidemiologi, kesehatan masyarakat hingga psikolog sangat dibutuhkan.
Itulah hal utama yang seharusnya diperbaiki dulu di tataran bangsa ini dan kita
mulai memperbaiki itu sekarang, di Pencerah Nusantara.
Dan…lingkaran dokter pun mulai membesar ketika kita bertemu
dengan 24 pemuda lainnya. Rasanya tidak dapat diucapkan ketika pengumuman
masing-masing tim dipampang dan kita para dokter mulai mencari satu persatu tim
kita. Mulai mencoba mengenali mereka satu
persatu walau hanya terbatas pada dunia maya sebelum dipertemukan. Tentunya itu bukan hal mudah karena jujur,
tim saya pun merasa awalnya saya “sombong, freak, aneh, gila” ketika hanya
berkomunikasi dari media sosial saja. Ketika sudah mengenal lebih baik, rasanya
mereka tetap menganggap saya “si emak gila “ J
Hingga akhirnya waktu pertemuan itu datang. Yah…32 laskar Pencerah
Nusantara dikumpulkan dengan heboh di Balai Besar Kesehatan Cilandak Kemenkes,
belakang RS Fatmawati. Dari seluruh nusantara, dari beragam latar belakang
pendidikan, dari 1043 pelamar, dari puluhan orang tua yang sulit memberikan
izin, akhirnya kita bertemu dan dua bulan lamanya menjalani hari-hari penuh
suka cita.
Beberapa adegan gila yang dapat saya rekam dan sampai saat
ini dapat membuat tawa kecil tersungging di bibir antara lain ketika harus
menyulap “ide kecil” dalam sekejap menjadi “besar” demi mencerahkan seseorang
di hari lahirnya. Kali itu korbannya Lucky, perawat UI yang saat ini bertugas
di Berau dan malah berhasil membuat nangis sahabatnya, Elys perawat UNHAS yang
juga di Berau. Lucu rasanya spontanitas kita akhirnya berhasil memeriahkan satu
lini hidup Lucky yang mungkin tidak pernah dibayangkan. Bahkan demi akting,
saya harus menahan tawa melihat akting para team leader lainnya. Bayangkan
saja, mana sanggup saya menahan tawa ketika melihat muka lucu dokter Ridho
(Mentawai) atau mata sipit dokter Harika (Ende) atau ceramah dokter Gungwik
(Lindu) hingga polosnya dokter Darsuna (Lindu). Tapi saat itu saya harus
beradegan meyakinkan bahkan hingga mengorbankan anak-anak saya sendiri di tim
Pasuruan (maaf karena harus marah-marah dan mencari-cari kesalahan). Akhirnya,
korban menangis bukan hanya dari yang ultah melainkan dari tim Pasuruan juga.
Malam itu adalah malam dengan kue tart pertama kita semua.
Dan setelahnya, malam-malam lain berpindah ke Bandung ketika lingkaran
integritas itu pun muncul. Di malam ketika skenario tim Mentawai dijalankan
oleh Ratu Rimba Si Inang, akhirnya team leader Mentawai pun bertekuk lutut….pasrah.
Saya masih teringat dengan jelas ketika skenario yang dijalankan ini sebenarnya
sudah jauh melenceng dari skenario awal yang lebih dahyat namun ternyata adegan
di luar skenario justru menambah kemiripan cerita ini seperti tanpa rekayasa basutan
sutradara. Semua hal seperti sudah diskenariokan bahkan puncaknya ketika dokter
Ufara yang kesehariannya mengkoordinasikan kita semua dari pusat bertambah
umur. Saya meminta Usman (Lindu) untuk pura-pura pingsan dan muntah darah
akibat penyakit lambung kronis yang dideritanya. Lumayan ternyata pewarna bibir
saya masih dapat digunakan seperti darah yang mengering. Walhasil, Ufara menjadi
panik dan melakukan pertolongan pertama. Sungguh, ini bukan hal mudah
lagi-lagi, berakting dan harus menahan tawa sementara kita semua boleh
dikatakan orang-orang gila yang hobi tertawa juga membuat tawa.
Banyak hal dalam hidup yang mungkin sebenarnya direkayasa,
bahkan termasuk ketika seseorang marah dengan yang lain, tidak profesional,
atau menyakiti hati lainnya. Rasanya nikmat sekali memasukkan dalam memori jika
apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang “mungkin” hanya rekayasa baik antara
kita ber-32 ini maupun dengan lingkaran luar yang lebih luas. Semua rekayasa
ini pasti nantinya akan membentuk kita menjadi tim yang lebih solid sebagai
keluarga besar Pencerah Nusantara yang lebih tahan banting.
Dua bulan tepat kita “digembleng” oleh beragam ahli mulai
dari dokter spesialis kandungan, spesialis anak, spesialis anestesi, spesialis
ilmu kedokteran komunitas, para psikolog Pusat Krisis UI, CEO General Electric,
Gollin Haris Media, Kompas, Gender Harmony, bahkan rekan-rekan Indonesia
Mengajar bersama Anies Baswedan. Hingga puncaknya kita berpamitan dengan Ibu
Nafsiah Mboi, Sp.A selaku ibu kita semua, Menteri Kesehatan Indonesia.
Kita juga mengakhiri dua bulan kebersamaan bersama Wanadri,
lagi-lagi 4 hari penuh penderitaan di Gunung Kareumbi. Kita pernah merasa hati kita
berbeda, merasa profesi lain lebih enak kerjanya, merasa yang lain hanya bisa
menyuruh saja tanpa mau melakukan, merasa team leader kurang berlaku adil atau
malah tidak becus, merasa sangat lelah karena harus membagi diri sendiri atas
pekerjaan keseharian dan pelayanan pasien, merasa ingin teriak marah atau kesal
karena ketidakadilan di berbagai hal. Banyak hal “tidak enak” yang pernah kita
rasakan namun ketika kita teringat lingkaran integritas maka kita akan menghela
napas, kemudian melepaskannya dan terasa beban itu menghilang.
Sahabat…Ingatlah selalu, dimanapun kalian sekarang berada.
Kita pernah sangat menderita di gunung, kehujanan dan
kedinginan tanpa selimut, harus hidup membangun bivak alam hingga akhirnya hanya
ada tangan-tangan sahabat yang menggenggam erat memberi kehangatan.
Kita pernah sangat kelaparan di gunung hingga harus makan
dedaunan dan hewan-hewan tidak layak makan hingga akhirnya sahabat-sahabat kitalah
yang menguatkan kalau kita dapat melalui itu semua.
Kita pernah sangat kehausan hingga rasanya mendapatkan air
satu tetes dari dedaunan rasanya seperti mendapatkan air surga hingga akhirnya
sahabat-sahabatmu merelakan airnya untuk kamu minum walau dia sebenarnya lebih
haus.
Kita pernah sangat ketakutan ketika bertemu ular-ular
berbisa bahkan ketika kita harus digigit hingga akhirnya yang terberat adalah
menaklukkan “ular-ular” di hati kita
Kita pernah berada dalam kegelapan pekat hingga kita tidak
dapat melihat wajah sahabatmu namun suara merdu mereka itulah yang dapat
mendamaikan dan menentramkanmu dari gelap.
Kita pernah merasakan merananya sakit perut menahan hasrat
jiwa dan harus menggali lubang sendiri hingga akhirnya sahabatmu menemanimu dan
mengurangi rasa merana tersebut.
Kita bahkan pernah menderita terpisahkan dari berbagai
peralatan canggih dan tidak mengetahui informasi di luar sana selama
berhari-hari hingga akhirnya kisah dari sahabat-sahabat menjadi pelipur lara
luar biasa. Kisah mereka lebih indah daripada gadget mahal sekalipun. Bahkan
lawakan mereka lebih lucu dari OVJ yang ada di tivi-tivi.
Kita bahkan tidak pernah bertemu orang tua kita dalam waktu
cukup lama, tidak pernah merasakan dekapan pelukan mereka lagi bahkan kita
tidak tahu kabar mereka baik-baik saja atau tidak tetapi disini kita semua
punya orang tua baru, ada emak, ada mbok, ada tante, ada mimi, ada pipi, bahkan
artis terkenal pun ada. Pelukan keluarga baru yang semoga kehangatannya
menggantikan pelukan orang-orang yang kita kasihi di rumah.
Sahabat…kita sudah melewati semua hal “mengenaskan” itu. Dua
bulan amunisi itu semakin menguatkan kita hingga akhirnya tidak ada satu pun
dari kita berhasil menahan air mata ketika harus berpisah 28 Oktober lalu.
Dan amunisi itu bukan sembarangan senjata. Kita semua
membuat senjata itu lebih kuat.
Kita pernah tertawa lepas terbahak-bahak hingga kelelahan.
Dengan beragam jenis tawa mulai tawa uvula (Ridho punya), tawa orbita (jelas
Harika dong), atau tawa Syahrini (ini emak punya). Tawa yang masih akan selalu kita
rindukan hingga kita tidak mampu menahan kencing. Pelawak-pelawak alami kita
bertebaran mulai dari Usman (Lindu), Egi (Ogotua), hingga Aji (Karawang).
Kita juga pernah menangis bersama sebagai amunisi terakhir
ketika dengan semua hal yang sudah kita tinggalkan di belakang, kita ingin satu
tahun ke depan di tempat pengabdian menjadi moment yang indah. Ketika kita meninggalkan orang tua yang
terbaring sakit, kita berharap akan lebih banyak menyehatkan orang tua di
tempat pengabdian kita. Ketika kita meninggalkan anak didik maka kita berharap
akan ada banyak orang lebih cerdas setelah kedatangan kita di daerah pengabdian.
Ketika kita meninggalkan penghasilan lebih maka kita berharap dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat di tempat pengabdian kita. Ketika kita meninggalkan kesempatan sekolah
dan karir yang lebih tinggi maka kita berharap melihat bibit-bibit yang bermimpi
lebih di tempat pengabdian dan kitalah yang menyalakan lilin-lilin mimpi
mereka.
Sahabat…
Demi semua “perjuangan” panjang kita hingga akhirnya saat
membaca ini kita sudah berada di daerah pengabdian kita
Demi mimpi-mimpi kita di malam lingkaran integritas yang
saling menguatkan satu sama lain
Demi kesehatan Indonesia yang lebih baik dan itu dimulai
dari kita yang mengubahnya
Mari…
Mari terus bergandengan tangan, makin menguatkan genggaman
tangan kita, tanpa membedakan latar belakang pendidikan kita, siapa kita sebelumnya.
Sekarang….kita kembali punya mimpi yang sama
Ketika satu tahun berlalu…kita menorehkan tinta biru yang
baik di masing-masing daerah pengabdian kita
Betapapun sulitnya penghalang yang nantinya akan kita
hadapi….selalu ingat bahwa kita dapat melaluinya bersama-sama. Saatnya kita
membuktikan jika seluruh tenaga kesehatan bersatu maka sehat bukan hal mustahil
lagi tuk rakyat.
Salam sayang dan peluk dari Emak
Untuk semua Laskar Pencerah Nusantara yang hebat
Dua bulan pertama berlalu. Tersisa 10 bulan tuk mengabdi.
Akan sangat cepat berlalu
Mari ERATKAN GENGGAMAN 32 PASANG TANGAN KITA!!!!
dr. Hafidaturrahmah (Avis)
heiiii blogwalking nih..main dong ke rumah kitaaa http://pencerahnusalindu.blogspot.com/
ReplyDeletebikin link blog qta donk di blog kalian hahhahahhaa
Salut untuk Pencerah Nusantara. SMPN 3 Tosari Satu Atap,satu visi dan Misi dg Pencerah Nusantara. Meski banyak kesedihan dan air mata. Tetapi senyuman murid2 kami yang bs membuat kami bernapas sampai sekarang dengan berbagai kekurangan. Demi mencerdaskan kehidupan Bangsa.
ReplyDeleteUntuk Ibu Pertiwi
Pendidikan+Kesehatan yang nyata.
Atas Nama SMPN 3 Tosari Satu Atap
Aditya Prianto,SPd