Followers

Saturday, December 29, 2012

Bombardir Indonesia: 32 Laskar Pencerah Nusantara SIAP BERJUANG!



Hari ini, 28 Desember 2012, selalu menjadi tanggal keramat bagi kita. Tepat saat Sumpah Pemuda 28 November 2012 kita ber-32 dilepas di bandara Soekarno menuju ke 7 lokasi pengabdian kita-dari ujung barat di Mentawai hingga timur di NTT. Rasanya tidak karuan karena kebersamaan selama dua bulan harus terpisahkan.

Masih membekas betapa erat dalam ingatan saya sebagai emak di tim kecil ini bahwa kita pernah mengalami masa-masa sangat sulit. Selama 4 hari pertama ketika pertama kalinya kita berkumpul, kita digabungkan dalam kelompok per lokasi dan digembleng tim Wanadri. Pernah terbayangkan rasanya berkumpul dengan orang-orang yang tidak pernah kalian kenal sebelumnya tetapi dipaksa untuk mengenal mereka dalam hitungan hari saja? Bukan hal mudah tentunya.

Apalagi bagi para dokter yang dalam hal ini dituntut menjadi leader dalam setiap tim, meluluhkan ego masing-masing agar dapat meleburkan diri mengetahui rekan lainnya dalam berbagai profesi. Bahkan bagi profesi lain yang masih memandang dokter sebagai suatu jabatan sulit “dikritik” hingga “arogan” tentunya bukan hal mudah pula menerima kenyataan “lagi-lagi” harus dipimpin oleh dokter. Dan seluruh rasa itu pun akhirnya harus mau tidak mau melebur dalam satu wadah bernama Pencerah Nusantara.

Sahabat…saat membaca ini, saya yakin kita semua telah DUA BULAN berada di 7 pedalaman yang semuanya memiliki masalah kesehatan unik baik terkait akses, pelayanan, maupun harus berhadapan dengan berbagai dinas terkait juga dukun.  Rasa lelah itu pasti akan muncul ketika kenyataan berbeda dengan impian yang kita cita-citakan.  Apalagi ketika intrik-konflik mulai muncul mewarnai pekerjaan mulia ini.

Mari…saya ajak para dokter duluan untuk kembali mengenang lingkaran kecil ingtegritas kita saat pertama kali kita bertemu dalam seleksi di Jakarta. Menerima banyak hal yang tidak masuk akal saat itu tentulah bukan hal mudah apalagi harus meninggalkan zona nyaman. Saat itu, satu-satunya hal yang akhirnya membuat kita semua tetap berada dalam lingkaran ini adalah hanya karena “panggilan jiwa” untuk “mengabdi”. Delapan dokter yang pernah mengabdikan hidup kita sebelumnya di Rumah Sakit, Puskesmas (PNS), PTT, Ranah Penelitian NGO, hingga Dosen. Namun, rasa penasaran mengabdikan di wilayah yang akan didukung dan dikembangkan melalui tangan-tangan Kangtor Utusan Presiden Republik Indonesia untuk Millenium Development Goals (KUKPRI-MDG) ini membawa kita berjuang hingga detik ini. Murni bukan karena hal lain karena kalau mencari “itu” maka jelas Pencerah Nusantara ini bukan wadahnya.

Negara ini memanggil kita untuk membuktikan beragam inovasi promotif dan preventif dapat benar-benar menyehatkan bangsa. Kesehatan bukan hanya bagaimana mengobati kesakitan saja tetapi lebih bagaimana mencegah dan mengetahui kesakitan sebelum bertambah parah. Dan…saat itu kita hanya lingkaran kecil yang diminta menjadi solid untuk berbaur dengan tenaga kesehatan lain. Kita para dokter dituntut untuk “momong” adik-adik lainnya dari latar belakang berbeda. Memberi warna bagi kehidupan mereka bahwa perbaikan kesehatan di negara kita ini butuh lebih dulu perbaikan di taraf tenaga kesehatannya. Saling memahami dan kerja sama yang baik antara dokter, perawat, bidan, apoteker, gizi, epidemiologi, kesehatan masyarakat hingga psikolog sangat dibutuhkan. Itulah hal utama yang seharusnya diperbaiki dulu di tataran bangsa ini dan kita mulai memperbaiki itu sekarang, di Pencerah Nusantara.

Dan…lingkaran dokter pun mulai membesar ketika kita bertemu dengan 24 pemuda lainnya. Rasanya tidak dapat diucapkan ketika pengumuman masing-masing tim dipampang dan kita para dokter mulai mencari satu persatu tim kita.  Mulai mencoba mengenali mereka satu persatu walau hanya terbatas pada dunia maya sebelum dipertemukan.  Tentunya itu bukan hal mudah karena jujur, tim saya pun merasa awalnya saya “sombong, freak, aneh, gila” ketika hanya berkomunikasi dari media sosial saja. Ketika sudah mengenal lebih baik, rasanya mereka tetap menganggap saya “si emak gila “ J

Hingga akhirnya waktu pertemuan itu datang. Yah…32 laskar Pencerah Nusantara dikumpulkan dengan heboh di Balai Besar Kesehatan Cilandak Kemenkes, belakang RS Fatmawati. Dari seluruh nusantara, dari beragam latar belakang pendidikan, dari 1043 pelamar, dari puluhan orang tua yang sulit memberikan izin, akhirnya kita bertemu dan dua bulan lamanya menjalani hari-hari penuh suka cita.

Beberapa adegan gila yang dapat saya rekam dan sampai saat ini dapat membuat tawa kecil tersungging di bibir antara lain ketika harus menyulap “ide kecil” dalam sekejap menjadi “besar” demi mencerahkan seseorang di hari lahirnya. Kali itu korbannya Lucky, perawat UI yang saat ini bertugas di Berau dan malah berhasil membuat nangis sahabatnya, Elys perawat UNHAS yang juga di Berau. Lucu rasanya spontanitas kita akhirnya berhasil memeriahkan satu lini hidup Lucky yang mungkin tidak pernah dibayangkan. Bahkan demi akting, saya harus menahan tawa melihat akting para team leader lainnya. Bayangkan saja, mana sanggup saya menahan tawa ketika melihat muka lucu dokter Ridho (Mentawai) atau mata sipit dokter Harika (Ende) atau ceramah dokter Gungwik (Lindu) hingga polosnya dokter Darsuna (Lindu). Tapi saat itu saya harus beradegan meyakinkan bahkan hingga mengorbankan anak-anak saya sendiri di tim Pasuruan (maaf karena harus marah-marah dan mencari-cari kesalahan). Akhirnya, korban menangis bukan hanya dari yang ultah melainkan dari tim Pasuruan juga.

Malam itu adalah malam dengan kue tart pertama kita semua. Dan setelahnya, malam-malam lain berpindah ke Bandung ketika lingkaran integritas itu pun muncul. Di malam ketika skenario tim Mentawai dijalankan oleh Ratu Rimba Si Inang, akhirnya team leader Mentawai pun bertekuk lutut….pasrah. Saya masih teringat dengan jelas ketika skenario yang dijalankan ini sebenarnya sudah jauh melenceng dari skenario awal yang lebih dahyat namun ternyata adegan di luar skenario justru menambah kemiripan cerita ini seperti tanpa rekayasa basutan sutradara. Semua hal seperti sudah diskenariokan bahkan puncaknya ketika dokter Ufara yang kesehariannya mengkoordinasikan kita semua dari pusat bertambah umur. Saya meminta Usman (Lindu) untuk pura-pura pingsan dan muntah darah akibat penyakit lambung kronis yang dideritanya. Lumayan ternyata pewarna bibir saya masih dapat digunakan seperti darah yang mengering. Walhasil, Ufara menjadi panik dan melakukan pertolongan pertama. Sungguh, ini bukan hal mudah lagi-lagi, berakting dan harus menahan tawa sementara kita semua boleh dikatakan orang-orang gila yang hobi tertawa juga membuat tawa.

Banyak hal dalam hidup yang mungkin sebenarnya direkayasa, bahkan termasuk ketika seseorang marah dengan yang lain, tidak profesional, atau menyakiti hati lainnya. Rasanya nikmat sekali memasukkan dalam memori jika apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang “mungkin” hanya rekayasa baik antara kita ber-32 ini maupun dengan lingkaran luar yang lebih luas. Semua rekayasa ini pasti nantinya akan membentuk kita menjadi tim yang lebih solid sebagai keluarga besar Pencerah Nusantara yang lebih tahan banting.

Dua bulan tepat kita “digembleng” oleh beragam ahli mulai dari dokter spesialis kandungan, spesialis anak, spesialis anestesi, spesialis ilmu kedokteran komunitas, para psikolog Pusat Krisis UI, CEO General Electric, Gollin Haris Media, Kompas, Gender Harmony, bahkan rekan-rekan Indonesia Mengajar bersama Anies Baswedan. Hingga puncaknya kita berpamitan dengan Ibu Nafsiah Mboi, Sp.A selaku ibu kita semua, Menteri Kesehatan Indonesia.

Kita juga mengakhiri dua bulan kebersamaan bersama Wanadri, lagi-lagi 4 hari penuh penderitaan di Gunung Kareumbi. Kita pernah merasa hati kita berbeda, merasa profesi lain lebih enak kerjanya, merasa yang lain hanya bisa menyuruh saja tanpa mau melakukan, merasa team leader kurang berlaku adil atau malah tidak becus, merasa sangat lelah karena harus membagi diri sendiri atas pekerjaan keseharian dan pelayanan pasien, merasa ingin teriak marah atau kesal karena ketidakadilan di berbagai hal. Banyak hal “tidak enak” yang pernah kita rasakan namun ketika kita teringat lingkaran integritas maka kita akan menghela napas, kemudian melepaskannya dan terasa beban itu menghilang.
Sahabat…Ingatlah selalu, dimanapun kalian sekarang berada.

Kita pernah sangat menderita di gunung, kehujanan dan kedinginan tanpa selimut, harus hidup membangun bivak alam hingga akhirnya hanya ada tangan-tangan sahabat yang menggenggam erat memberi kehangatan.

Kita pernah sangat kelaparan di gunung hingga harus makan dedaunan dan hewan-hewan tidak layak makan hingga akhirnya sahabat-sahabat kitalah yang menguatkan kalau kita dapat melalui itu semua.

Kita pernah sangat kehausan hingga rasanya mendapatkan air satu tetes dari dedaunan rasanya seperti mendapatkan air surga hingga akhirnya sahabat-sahabatmu merelakan airnya untuk kamu minum walau dia sebenarnya lebih haus.

Kita pernah sangat ketakutan ketika bertemu ular-ular berbisa bahkan ketika kita harus digigit hingga akhirnya yang terberat adalah menaklukkan “ular-ular” di hati kita
Kita pernah berada dalam kegelapan pekat hingga kita tidak dapat melihat wajah sahabatmu namun suara merdu mereka itulah yang dapat mendamaikan dan menentramkanmu dari gelap.

Kita pernah merasakan merananya sakit perut menahan hasrat jiwa dan harus menggali lubang sendiri hingga akhirnya sahabatmu menemanimu dan mengurangi rasa merana tersebut.

Kita bahkan pernah menderita terpisahkan dari berbagai peralatan canggih dan tidak mengetahui informasi di luar sana selama berhari-hari hingga akhirnya kisah dari sahabat-sahabat menjadi pelipur lara luar biasa. Kisah mereka lebih indah daripada gadget mahal sekalipun. Bahkan lawakan mereka lebih lucu dari OVJ yang ada di tivi-tivi.

Kita bahkan tidak pernah bertemu orang tua kita dalam waktu cukup lama, tidak pernah merasakan dekapan pelukan mereka lagi bahkan kita tidak tahu kabar mereka baik-baik saja atau tidak tetapi disini kita semua punya orang tua baru, ada emak, ada mbok, ada tante, ada mimi, ada pipi, bahkan artis terkenal pun ada. Pelukan keluarga baru yang semoga kehangatannya menggantikan pelukan orang-orang yang kita kasihi di rumah.

Sahabat…kita sudah melewati semua hal “mengenaskan” itu. Dua bulan amunisi itu semakin menguatkan kita hingga akhirnya tidak ada satu pun dari kita berhasil menahan air mata ketika harus berpisah 28 Oktober lalu.

Dan amunisi itu bukan sembarangan senjata. Kita semua membuat senjata itu lebih kuat.

Kita pernah tertawa lepas terbahak-bahak hingga kelelahan. Dengan beragam jenis tawa mulai tawa uvula (Ridho punya), tawa orbita (jelas Harika dong), atau tawa Syahrini (ini emak punya). Tawa yang masih akan selalu kita rindukan hingga kita tidak mampu menahan kencing. Pelawak-pelawak alami kita bertebaran mulai dari Usman (Lindu), Egi (Ogotua), hingga Aji (Karawang).

Kita juga pernah menangis bersama sebagai amunisi terakhir ketika dengan semua hal yang sudah kita tinggalkan di belakang, kita ingin satu tahun ke depan di tempat pengabdian menjadi moment yang indah.  Ketika kita meninggalkan orang tua yang terbaring sakit, kita berharap akan lebih banyak menyehatkan orang tua di tempat pengabdian kita. Ketika kita meninggalkan anak didik maka kita berharap akan ada banyak orang lebih cerdas setelah kedatangan kita di daerah pengabdian. Ketika kita meninggalkan penghasilan lebih maka kita berharap dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di tempat pengabdian kita.  Ketika kita meninggalkan kesempatan sekolah dan karir yang lebih tinggi maka kita berharap melihat bibit-bibit yang bermimpi lebih di tempat pengabdian dan kitalah yang menyalakan lilin-lilin mimpi mereka.

Sahabat…
Demi semua “perjuangan” panjang kita hingga akhirnya saat membaca ini kita sudah berada di daerah pengabdian kita

Demi mimpi-mimpi kita di malam lingkaran integritas yang saling menguatkan satu sama lain
Demi kesehatan Indonesia yang lebih baik dan itu dimulai dari kita yang mengubahnya
Mari…
Mari terus bergandengan tangan, makin menguatkan genggaman tangan kita, tanpa membedakan latar belakang pendidikan kita, siapa kita sebelumnya.

Sekarang….kita kembali punya mimpi yang sama
Ketika satu tahun berlalu…kita menorehkan tinta biru yang baik di masing-masing daerah pengabdian kita
Betapapun sulitnya penghalang yang nantinya akan kita hadapi….selalu ingat bahwa kita dapat melaluinya bersama-sama. Saatnya kita membuktikan jika seluruh tenaga kesehatan bersatu maka sehat bukan hal mustahil lagi tuk rakyat.

Salam sayang dan peluk dari Emak
Untuk semua Laskar Pencerah Nusantara yang hebat
Dua bulan pertama berlalu. Tersisa 10 bulan tuk mengabdi. Akan sangat cepat berlalu
Mari ERATKAN GENGGAMAN 32 PASANG TANGAN KITA!!!!

dr. Hafidaturrahmah (Avis)

Monday, December 3, 2012

Satu Bulan Sudah

Tim Pencerah Nusantara bersama Bupati Pasuruan dan jajarannnya

Suasana upacara hari sumpah pemuda di kantor bupati
Jelang satu bulan di wilayah penempatan, seluruh tim Pencerah Nusantara sudah disibukkan dengan kegiatan need assessment wilayah kerja masing- masing. Media percakapan telewicara whatsapp dan blackberry group yang dulu ramai dengan posting foto dan tanya jawab gak penting mulai jarang muncul. Sesekali akan ramai sekali ketika tukar pikiran metode assessment atau saran untuk pasien dengan kasus unik dimulai. Semua ingin menolong dan memberi masukan. 

Riuh tawa ala training 7 minggu perlahan menjadi lebih serius. Beberapa tim malah harus mengisolasi diri karena terbatasnya sinyal jaringan selular, apalagi mengharap internet. Tim lain yang tak punya kendala jaringan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan suhu daerah yang terlalu panas atau terlalu dingin. Tiap orang punya masalah adaptasinya masing- masing, tapi semuanya menepis banyak perubahan dalam hidupnya dan berusaha menjalani satu demi satu tugas, amanah sebagai Pencerah Nusantara.

Tim Tosari sendiri belum terlalu bersahabat dengan dinginnya dataran tinggi Tengger yang menusuk tulang. Sejenak bayangan keberangkatan satu bulan yang lalu kembali mampir di benak. Mengingat bagaimana kami, tim Tosari terdampar di sini.

Satu bulan yang lalu.

Tim Tosari tiba di Bandara Internasional Juanda Surabaya pada pukul 11.30 Wib. Perjalanan udara selama 1,5 jam dengan menumpang pesawat Lion JT 0574 seat 27 A-E untuk 5 orang cukup menjadi waktu tidur yang nyenyak bagi kami semua ; Emak Avis, Fai, Fe, Nene dan Oliv. Perpisahan bersama tim lainnya di Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta masih cukup menyisakan kesedihan dalam haru. Lantunan lagu kebangsaan Indonesia Jaya dan Merah Putih masih terngiang di telinga. Tepuk semangat Haji Imron untuk Pasuruan membekas jelas dalam ingatan.

Tapi kali ini hanya ada 5 orang, yang kesemuanya wanita. Semua saling bertatapan dan memandangi wajah dan punggung satu dan yang lainnya. Tersirat kelelahan, rasa bingung, antusiasme, dan semangat bercampur cemas. Tak ada jerit riang 27 orang lainnya. Kini kami sudah sah menyandarkan hidup satu sama lain, hanya pada 5 orang ini. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kami mencoba melangkah mantap menjejakkan kaki di Jawa Timur, siap menuju Pasuruan.

Setelah membersihkan diri dan mengambil bagasi, kami mendapatkan telepon jemputan dari pihak dinas kesehatan yang diwakili oleh ka. PSDM bu Diah. Dinas Kesehatan menjemput dengan 1 mobil penumpang dan 1 mobil untuk barang. Bu Diah yang menyetir dengan mobil terpisah mengajak kami makan siang di Ikan Bakar Cianjur (IBC) dekat Bandara. Mobil untuk tim Tosari disetir oleh Mas Slamet dari Dinas Kesehatan. Selama makan siang kami berbicara santai mengenai program yang sudah dijalankan dinas kesehatan dan pengalaman Bu Diah sendiri yang sudah belasan tahun menekuni kegiatan promosi kesehatan. Tak salah kami bertemu Bu Diah, pengalamannya di Papua menjadi pemantik semangat tersendiri bagi wanita- wanita muda seperti kami untuk berkarya dan mengabdikan diri pada masyarakat sebelum nantinya menyumbang banyak waktu hidup kami bagi ikatan keluarga.

Selesai menyantap makan siang ikan gurame bakar dan cingur khas Surabaya, kami bersiap menuju penginapan yang sudah dipersiapkan di Bangil, sebuah kecamatan di Pasuruan.

Di perjalanan kami melewati jalan tol lumpur Sidoardjo, yang kemudian membuat kami penasaran untuk turun dan melihat bencana buatan manusia yang kasusnya tak kunjung selesai sejak tahun 2006 itu. Pemandangan menyedihkan ini membuat kami semua terdiam, namun tak banyak yang bisa dilakukan selain mengirim Al Fatihah berharap semoga penderitaan masyarakat penyintas (survivor) segera berakhir.
Kami melanjutkan perjalanan menuju tempat penginapan yang lokasinya memang sangat berdekatan dengan Dinas Kesehatan Pasuruan. Setelah memindahkan barang ke kamar dan beristirahat sejenak, kami mendapat kunjungan sambutan dari Ibu Loembini yang merupakan kepala Dinas Kesehatan Pasuruan. Bu Loembini datang bersama Pak Agus yang merupakan bagian program, yang juga membawakan kami kue dan snack khas Pasuruan sebagai buah tangan selamat datang. Dalam suasana santai di lobi lantai.2 penginapan, Bu Loembini dan Pak Agus menjelaskan beberapa hal terkait kegiatan orientasi yang akan kami jalani selama beberapa hari ke depan bersama Dinas Kesehatan.

Maka hari pertama tim Tosari di Pasuruan diakhiri dengan istirahat panjang sampai malam. Tak hanya fisik bugar yang ingin didapatkan, tapi juga kesiapan untuk bertemu dengan Bupati Pasuruan dan seluruh jajarannya esok hari.

Keesokan harinya, kami bangun pagi pukul 5 pagi dan itu ternyata sudah kesiangan di Pasuruan. Kami bangkit dari tempat tidur dan kaget melihat berkas cahaya menembus gorden jendela layaknya sinar matahari jam 8 pagi. Kami segera shalat shubuh, mandi dan berpakaian untuk menunggu jemputan yang akan tiba pukul 6.30 Wib. Kami akan dijemput untuk mengikuti Upacara Sumpah Pemuda di Kantor Bupati Pasuruan. Setelah sarapan dan menunggu beberapa saat, sekitar pukul 7 kami dijemput oleh bu Loembini dan Pak Sutoro.

Tiba pukul 07.30, kami dipersilakan menduduki kursi barisan pertama di bawah tenda undangan. Kami agak kaget menerima sambutan yang sangat terhormat ini, karena sebagai sekelompok anak muda yang baru tamat kuliah rasanya agak segan untuk duduk sejajar dengan jenderal- jenderal, dan bahkan di depan kepala SKPD Pasuruan. Tapi kekakuan ini coba kami atasi dengan bersikap wajar dan tenang. Upacara Sumpah Pemuda berlangsung pukul 08.00- 08.30 dengan khidmat. Rupanya di ujung acara kami mendapat kesempatan untuk dipanggilkan namanya di hadapan ratusan peserta upacara. Nama kami dipanggil satu persatu sebagai Utusan Khusus Presiden Urusan MDGs yang akan membantu optimalisasi pelayanan kesehatan primer di Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kemudian kami bersalaman dengan bapak dan ibu jajaran pemerintah daerah setempat. Mendapatkan banyak jabatan dan ucapan selamat hanya dapat kami balas dengan senyuman dan wajah antusias, mengingatkan diri untuk dapat menjawab harapan mereka atas kami pada optimalisasi kesehatan di Pasuruan, terutama Tosari.

Selanjutnya pertemuan yang ditunggu- tunggu tiba. Kami dipersilahkan menuju ruangan Bupati. Di sana sudah hadir Bupati Pasuruan Pak Dade Angga, Sekretaris Daerah Pak Agus, Asisten 1 Pak Ariya, Kepala RSPAD Pak Agung, Camat Tosari Pak Sudiro serta jajaran pemerintahan lainnya. Semuanya duduk mengelilingi meja oval ruangan tersebut dan menatap kami yang baru mengambil tempat. Pemandangan paling kentara tampak dari kesetaraan gender dalam ruangan itu, dimana kami semua adalah perempuan dan seluruh pejabat ini adalah laki- laki. Tapi kami bersama bu Loembini yang kemudian membuka pertemuan informal ini. Selama pertemuan kami berkesempatan memperkenalkan diri kami sendiri serta apa yang kira- kira akan kami lakukan selama setahun ke depan dalam gerakan Pencerah Nusantara ini. Penjelasan kami yang cukup singkat mendapat balasan sambutan yang baik berupa pertanyaan, masukan dan dukungan. Pak Dade menitipkan kami pada Pak Sudiro selaku camat Tosari untuk memastikan kami punya tempat berteduh dan makan setiap harinya. Pertemuan santai ini diakhiri dengan foto bersama dan jabat tangan selamat bertugas.

Berikutnya kami mendapat kesempatan berbicara secara khusus dengan Camat Tosari Pak Sudiro mengenai kondisi geografis dan masyarakat Tosari. Paparan mengenai semangat gotong royong, keanekaragaman dan toleransi agama yang sangat tinggi pada masyarakat suku Tengger Tosari menjadi pembuka pertemuan kami. Berbagai acara adat yang sudah menjadi bagian hidup masyarakat Tosari menjadi kisah menarik lainnya yang membuat kami antusias.

Perbincangan menjadi agak mencemaskan ketika beralih pada masalah sosial kasus bunuh diri. Pada pertemuan dengan pemerintah daerah Pasuruan di Jakarta, kami sempat mendengar cerita bunuh diri warga desa pada masa camat sebelumnya, Pak Saifuddin, bahwa ada 5 orang yang bunuh diri selama 2 tahun masa jabatannya, turun dalam angka yang sedikit membaik untuk 2 orang selama 2 tahun selama masa jabatan yang sudah dijalani Pak Sudiro. Fai yang merupakan sarjana psikologi mulai mengerutkan kening berharap tak ada kasus bunuh diri selama masa penugasan mereka. Kalaupun berpotensi, tentu harus ada upaya pencegahan.

Kemudian kami kembali menuju Dinas Kesehatan dan tim di split ke dua tempat yaitu seminar AMP untuk bidan yang diwakili Fe dan Nene, serta ke seminar staf promosi kesehatan yang diwakili oleh Emak Avis, Fai dan Oliv. Selesai pertemuan ini, kami makan siang dan kembali ke penginapan. Agenda selanjutnya adalah menuju Kecamatan Tosari untuk melihat kondisi wilayah tempat tinggal dan kerja kami selama 1 tahun ke depan. Ini hanya kunjungan sekilas untuk mendapat gambaran awal, karena kami masih harus kembali ke Pasuruan untuk agenda orientasi lanjutan.

Kami berganti baju santai dan menaiki mobil yang sudah disiapkan. Perjalanan menempuh waktu 1, 5 jam dengan agak ngebut karena Mas Slamet ingin mengejar waktu agar tak kemalaman. Jalan yang kami lalui sangat baik karena sudah diaspal seluruhnya. Hanya saja lintasannya sangat berkelok- kelok dan banyak sekali tikungan tajam yang harus dilalui yang makin lama tinggi hingga ke puncak. Kondisi ini membawa pikiran kami melayang membayangkan ini satu- satunya jalan yang dapat dilewati, tentu akan cukup menguras fisik karena mabuk darat kadang tak tertahankan.

Kami tiba di Tosari sekitar pukul 4 sore. Udara cukup sejuk dan berkabut, cuaca yang sangat wajar untuk wilayah dengan ketinggian 1700- 2700 m dpl. Kami turun dari mobil dan sangat antusias melihat calon tempat tinggal kami yang selama ini hanya bisa kami lihat melalui foto- foto yang dikirimkan. Kami masuk rumah dinas yang sudah disediakan namun masih harus kami isi sepenuhnya dengan berbagai perabotan dan alat pendukung rumah tangga. Kami sempat berbincang dengan beberapa warga yang sedang duduk di Puskesmas menunggui keluarganya yang rawat inap. Pipi mereka merah dan tubuh mereka terbalut kain sarung. Sebuah anglo atau semacam arang bakar dalam seng bulat sebagai penghangat diri diletakkan di depan mereka untuk mengurangi rasa dingin yang mulai menyergap. Kami berkenalan menyebut diri sebagai tenaga kesehatan dari Jakarta yang akan tinggal selama 1 tahun ke depan di Tosari untuk membantu di bidang kesehatan.

Menjelang pukul 5 sore, Mas Slamet mengajak kami pulang. Kami pun melaju kembali menuju Pasuruan.  Satu persatu mata mulai terlelap sambil menahan diri untuk tidak muntah di tengah jalan yang putarannya bagai roller coaster.

Satu bulan kemudian, hari ini.

Semua pelatihan yang sudah kami jalani selama 7 minggu mulai berwujud dalam aksi- aksi. Entah materinya cukup atau tidak, kami tahu bahwa jawaban- jawaban atas pertanyaan kesehatan di masyarakat kini tidak lagi bisa dijawab dengan esai panjang atau rancangan program di proposal yang biasa kami tulis pada ujian final semasa kuliah. Itu masih terlalu mudah. Tidak semua jawaban ada dalam buku. Kami harus terjun melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi.

Bulan Desember- Januari tim Tosari akan mulai melakukan need assessment ke 600 KK di 8 desa wilayah kerja kecamatan Tosari, setelah 1 bulan lamanya beradaptasi dan menentukan ritme kerja yang sesuai. Need assessment tidak hanya akan menanyakan pertanyaan- pertanyaan di kuesioner yang belasan lembar, tapi juga melakukan cek kesehatan umum seperti cek tekanan darah, tes hemoglobin ibu hamil dan golongan darah untuk pendonor di keluarga. Masuk dari satu rumah ke rumah berikutnya dan menyapa masyarakat. Menanyakan kondisi kesehatan mereka, melihat langsung kehidupannya bersama keluarga, dan menyentuh mereka dengan tangan kami sendiri. Saving lifes requires knowledge, dedication and leadership (Alfred Sommer). Masing- masing kami membatin, apapun itu, kami ingin berkata : Siap!

Salam Tosari!